Bersyukur Pada Maling
Aku jadi mempertanyakan diriku lagi, kenapa dulu memilih kos ini? Oh, aku ingat jawabannya, selain karena sangat dekat dengan kantor, harganya juga cukup murah. Dengan tinggal di kos ini, aku bisa cukup berhemat karena tidak perlu mengeluarkan ongkos, jalan 3 menit saja sudah sampai ke kantor. Sayangnya, kantorku tidak lagi di tempat yang sama.
Dua bulan yang lalu, kantorku berpindah ke daerah yang lebih elit, jaraknya menjadi puluhan kilometer dari kosku. Aku butuh transportasi umum untuk bisa sampai kesana. Pulang perginya menjadi sangat melelahkan. Mungkin karena itu, aku semakin tidak betah di kos murahan ini. Anehnya, meski sudah tidak betah, aku justru menunda-nunda mencari kos baru. Aku sudah malas duluan membayangkan betapa merepotkannya pindahan kos.
Aku sudah berada di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter itu, kunyalakan kipas angin, kulepas sepatuku, kukeluarkan handphone dan dompet dari kantong celanaku, lalu merebahkan diri di kasur usang beralaskan lantai yang entah sudah dipakai berapa penghuni. Badanku begitu kelelahan hingga tak sempat mengganti baju kantorku.
Baru saja aku mau menikmati rebahanku, namun disaat yang bersamaan handphone yang aku letakkan di lantai berbunyi. Awalnya aku mengabaikannya, namun handphone itu terus berbunyi sehingga kuputuskan untuk mengangkatnya. Ternyata itu panggilan dari seorang teman lama.
“Halo Dre, apa kabar? Tumben kamu nelpon?” Aku menyapa Andre lewat handphone.
“Halo Ran, aku kabar baik, kamu gimana? Besok kan tanggal merah, kita nginep di rumah barunya Fendy yuk!” Andre terdengar sangat antusias dari balik handphone sekaligus menyadarkanku bahwa besok memang adalah hari libur.
“Emang ada acara apa Dre disana?” Jawabku dengan sedikit bingung.
“Ga ada acara apa-apa sih Ran, cuma mau ngumpul-ngumpul aja, silaturahmi, ketemu teman-teman lama, nanti ada Felix, Yohana, Rian, Jessica, ………” Andre menyebutkan begitu banyak nama dengan semangat, sedangkan aku sendiri tiba-tiba tidak fokus lagi mendengarkannya.
Bagi Andre, semakin banyak nama-nama yang dia sebutkan semakin aku tertarik untuk ikut, padahal tidak. Justru sebaliknya, aku semakin tidak tertarik dengan ajakan Andre karena aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang sebanyak itu.
“Halo Ran…Randy, kok diem aja? Kamu ikut kan?” Aku mendengar kembali suara Andre dengan jelas.
“Kalo kamu ikut, berangkat malam ini juga ya, teman-teman yang lain sudah pada otw. Kamu ikut kan?” Andre menunggu jawabanku.
“Oh ok, nanti aku kabarin lagi ya Dre,” aku tidak ingin menolaknya secara blak-blakan.
“Oh yasudah, nanti chat aku ya kalo sudah ada keputusan. Thank you Ran!”
“Ok, Thank you Dre!” Percakapan kami berakhir.
Sebenarnya aku sudah punya jawaban. Aku tidak akan datang ke rumah Fendy, aku sengaja menunda menolaknya karena merasa tidak enak pada Andre. Pertemuan dengan teman-teman lamaku tidak lagi menyenangkan. Puncaknya adalah pertemuan tahun lalu. Pertemuan itu menjadi ajang pamer pencapaian.
Beberapa mulut bahkan tidak bisa lagi berkata dengan baik “Ran, kamu masih dikantor yang lama ya?”, “Kamu ga mau nyoba cari pekerjaan yang lebih oke?”, “Kamu kurusan, lagi sakit ya atau bonusan kamu ga cair? Hahahaha becanda Ran,”, “oh kamu kesini naik busway? Aku kira naik mobil.”, “wah, kosmu murah juga ya, tapi ga ada ACnya kan ya? Kamar mandi di luar?”
Perkataan-perkataan itu membuat aku mual, belum lagi membayangkan betapa nyelenehnya ekspresi mereka. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak. Orang-orang sukses itu bukan lagi orang yang sama. Apakah mereka yang terlalu polos dengan perkataan-perkataannya atau memang aku yang terlalu sensitif? Entahlah, aku pun bingung, yang pasti aku tidak begitu tertarik untuk bertemu mereka lagi.
10 menit berlalu, akhirnya aku memberi kabar pada Andre bahwa aku tidak bisa ikut, tentu saja dengan alasan yang aku karang-karang. Setelah memberi kabar, aku meletakkan kembali handphone-ku di lantai, aku tidak ingin memegangnya lagi, tidak ingin membuang-buang waktu seandainya Andre masih mempertanyakan alasanku tidak ikut, pokoknya kuabaikan saja handphone itu. Tanpa terasa, aku tertidur lelap. Lelap sekali seperti burung hantu di siang bolong.
***
Panas matahari yang menembus jendela mulai membuat kamarku terasa gerah. Aku membalik-balikkan badan, tubuhku berkeringat, tidurku sudah tidak nyaman lagi. Aku terbangun dan menyadari bahwa hari sudah siang, mataharinya sangat terik. Seperti kebiasaan anak muda jaman sekarang, yang aku cek pertama kali ketika bangun adalah handphone. Aku yang belum bangkit dari kasur mencoba meraba-raba lantai untuk mendapatkan handphone.
Sayangnya aku tidak mendapatkan handphone-ku setelah beberapa kali mencoba. Kemudian aku membalikkan badan untuk melihat ke arah lantai dan aku kaget sekali. Handphone dan dompetku tidak ada di sana. Secepat kilat aku bangkit dari kasur. Kini aku berdiri dengan kesadaran penuh. Aku melihat pintu kamarku sudah setengah terbuka.
Aku baru sadar, semalam aku cuma menutup pintu tanpa menguncinya. Itu pun tidak tertutup sempurna, sengaja aku buka sedikit supaya angin bisa masuk melalui celah yang ada, mengingat kos murahan ini sangat panas, kipas angin saja tidak cukup.

Sayang seribu sayang, semalam aku ketiduran dan lupa untuk mengunci pintu kamarku. Aku panik, aku mencari handphone dan dompetku di seluruh sudut kamar namun tidak kutemukan. Aku coba mengulang mencarinya lagi, tapi kali ini tidak hanya dengan perasaan panik tapi juga dengan perasaan sedih. Hatiku seolah mengatakan bahwa aku tidak akan menemukan apa yang sedang kucari. Pencarianku berhenti, hatiku berkecamuk. Aku kemalingan.
Aku duduk dan terdiam. Perasaan marah, kecewa, bingung dan tidak tenang memenuhi batinku. Aku belum menerima apa yang baru saja terjadi. Handphone, dompet serta kartu-kartu berharga di dalamnya lenyap diambil oleh maling. Perasaanku semakin sedih mengingat handphone tersebut baru aku beli beberapa bulan yang lalu setelah aku berhasil menabung dari gajiku yang tidak seberapa. Untungnya, uang yang ada di dalam dompetku tidak seberapa, tapi kartu-kartu di dalamnya tentulah sangat berharga.
Hatiku semakin nyesek membayangkan bahwa aku harus kehilangan file-file berharga yang ada di handphone dan harus mengurus kembali KTP, NPWP, ATM dan yang lainnya. Merepotkan sekali mengurus hal-hal semacam itu. Aku benar-benar marah.
Dalam kemarahanku, aku seperti dihakimi oleh pikiranku sendiri — Coba seandainya kamu ikut ajakan Andre, kamu tidak akan kemalingan seperti ini. Makanya kamu itu kalo diajakin jangan suka berbohong. Makanya jangan menunda-nunda cari kos baru. Makanya, makanya, makanya…” Aku seperti ditampar bolak-balik oleh kejadian ini.
Hidup tentu saja harus berjalan. Peristiwa sialan ini harus kuselesaikan. Aku membuka laci mejaku, dan aku sedikit lega karena handphone jadulku masih ada di sana. Kalau aku bisa menebak-nebak, sepertinya si maling hanya mengambil barang yang mudah dia raih tanpa mengotak-atik kamarku, dan semakin aku pikirkan lagi, si maling tidak merencanakan aksinya.
Pada awalnya mungkin dia hanya melewati kamarku, kemudian dia melihat pintuku terbuka dan melihatku tertidur seperti mayat, lalu pikirannya dipenuhi oleh suara iblis dan mengambil handphone serta dompetku. Dengan kronologi seperti itu, bukankah seharusnya pelakunya adalah sesama penghuni kos? Jika iya, siapakah dia? Seingatku, semua penghuni kos ini bertampang alim dan terpercaya. Ah, aku tidak mau berprasangka buruk, tapi pikiranku ada benarnya juga.
Aku mengambil handphone jadul yang sudah kuabaikan berbulan-bulan. Aku mencoba mengisi baterianya dan untungya masih bisa menyala sekaligus menyadarkanku bahwa saat itu sudah hampir pukul 11 siang. Aku memukul jidatku sebagai bentuk penyesalan dan merasa konyol karena sudah tidur seperti orang mati. Kutunggu beberapa menit sampai baterainya terisi.
Sembari menunggu, aku membeli kartu provider baru di counter kecil dekat kosku. Handphone jadulku ini masih bisa digunakan walaupun lemotnya sudah minta ampun. Beberapa kontak penting masih tersimpan di sana. Aku mulai mengabari ke adikku di kampung bahwa aku kemalingan dan untuk sementara hanya bisa dihubungi dinomor ini.
Aku juga memintanya untuk tidak memberitahukan ke orang tua serta saudara-saudara lainnya karena tidak ingin mereka kepikiran dan terbebani. Aku membayangkan orang tuaku akan sangat kecewa dan akan menyemprotku dengan berbagai kata-kata. Aku tidak mau itu terjadi.
Selain adikku, aku juga mengabari ke salah satu teman kantorku dan memintanya menambahkanku ke whatsapp group kantor sehingga aku tetap update dengan urusan pekerjaan. Setelah itu, aku akhirnya menginfokan ke bapak sang pemilik kos bahwa aku kemalingan. Seperti biasa, responnya tidak pernah menyenangkan. Dia justru menghakimiku dan menyebutku teledor.
Menyebalkan walau dia tidak sepenuhnya salah. Kuabaikan saja kata-katanya itu dan meminta dia untuk datang ke kosan serta memohon bantuannya agar mengecek setiap penghuni kos. Jarak rumahnya hanya kurang lebih 200 meter dari kosan tapi katanya dia akan datang sekitar 1 jam lagi karena ada urusan, jadi aku diminta menunggu.
Kos murahan ini tidak punya CCTV, jadi sangat sulit untuk mengetahui siapa malingnya. Sekitar 20 meter di sebelah kiri kosanku sebenarnya ada CCTV yang mengarah ke jalanan dan kosku, sudah aku cek bersama Mas Alif, teman sebelah kamarku, namun tidak membuahkan hasil. Kosanku tidak tersorot jelas, ditambah pohon mangga di depannya menutupi siapa saja yang memasuki kos sialan itu.
Kekesalanku semakin bertambah melihat tingkah Pak RT yang seolah tidak peduli dengan laporanku. Sebagai pemilik akses CCTV, dia tampak tidak sabaran dan buru-buru mengatakan bahwa tidak ada gunanya mengecek CCTVnya karena kosanku tidak tersorot dengan sempurna. Bukannya membantu dengan sabar, dia justru memperkeruh suasana.
“Makanya Mas, kalau mau tidur kunci pintu, sekarang ga ada orang yang bisa dipercaya, bisa aja teman-temanmu satu kosan yang ngambil.” Wajahnya tampak ingin menyuruhku agar cepat-cepat pergi.
Aku kesal tapi harus kuakui bahwa kata-katanya memang benar. Aku merasa seperti dihukum, sudah kemalingan tapi semesta seperti tidak sudi untuk membantuku. Aku akhirnya kembali ke kosan bersama Mas Alif tanpa hasil apapun.
Sembari menunggu Bapak Kos datang, aku mengobrol dengan Mas Alif di depan kamarnya.
“Mas, masa iya malingnya sesama penghuni kos ini?” Kataku sedikit berbisik
“Aku juga bingung, tapi kalo dipikir-pikir malingnya bisa aja sih Ran anak-anak di kos ini,” jawab Mas Alif dengan raut wajah kebingungan
“Seandainya pelakunya adalah salah satu anak kos di sini, menurut Mas Alif kamar nomor berapa pelakunya?” Tanyaku dengan penasaran. Sebenarnya pertanyaan ini sudah muncul dibenakku sejak awal, namun aku sendiri pun sangat kebingungan kalau harus menuduh satu orang.
“Jujur, aku ga bisa nyebutin satu nama, aku beneran bingung dan ga tau.” Ekspresinya tampak berpikir keras.
Mas Alif ternyata sama bingungnya denganku. Mungkin dia merasakan hal yang sama juga, meski kami tidak begitu dekat dengan seluruh penghuni kos, tapi hubungan satu sama lain bisa dibilang cukup baik dan tidak ada sosok yang mencurigakan.
Obrolan kami terhenti saat sosok Bapak Kos muncul di hadapan kami. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan sosok menyebalkan ini selain urusan sewa kos, tapi kali ini dia memang aku butuhkan karena sebagai pemilik kos tentu saja dia berhak untuk menggeledah setiap kamar.
“Kenapa bisa kemalingan Mas?” dia membuka pembicaraan walau aku tahu dia tidak sepenuhnya peduli. Aku pun menjelaskan kembali kronologi kejadiannya.
“Mumpung bapak sudah disini, aku minta tolong agar semua penghuni kos bisa dicek satu-satu Pak,” aku langsung mengutarakan permintaanku setelah menjelaskan ulang peristiwa kemalingan yang menimpaku.
Wajahnya mengkerut tampak tidak menyetujui permintaanku.
“Ga usahlah Mas, masa iya harus dicekin satu satu, ga enak sama mereka, belum tentu mereka pelakunya, lagi pula tidak semua penghuni sedang di kamar.” Dia menolak mentah-mentah permintaanku, aku terdiam dan cukup kecewa dengan responnya.
“Jadikan ini pelajaran Mas, besok-besok sebelum tidur pastikan pintu sudah dikunci.” Dia lagi-lagi menasehatiku. Kali ini aku sedikit muak mendengarnya ditambah tampangnya begitu arogan, membuatku sangat kesal.
“Supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi, gimana kalo kos ini dipasang CCTV Pak?” Aku bertanya sekaligus meminta supaya Bapak Kos mempertimbangkan memasang CCTV di kos murahan ini.
“Ga usah, ga perlu dipasang CCTV, kalian aja yang harus lebih berhati-hati ke depannya. Kalau pun mau dipasang, saya tidak bisa menjanjikan kapan akan dipasang.” Dia menjawab begitu cepat pertanyaanku dan ekspresinya menunjukkan penolakan keras.
Bapak Kos kemudian pamit meninggalkan kos setelah pembicaraan yang tidak menghasilkan apa pun. Aku lagi-lagi hanya bisa termenung dan meratapi nasib. Semesta sama sekali tidak mendukung, usahaku tak membuahkan hasil. Bagi orang lain, ini mungkin hanya peristiwa biasa tapi bagiku kemalingan ini benar-benar menamparku, memberiku banyak pelajaran.
***
Tak hanya membuat batinku berkecamuk, kemalingan ini juga membuatku lelah secara fisik. Setelah peristiwa sialan itu, beberapa hari setelahnya aku disibukkan dengan berbagai urusan. Aku bahkan harus mengambil cuti dari kantor. Maling sialan itu benar-benar sedang menghukumku. Aku harus ke kantor polisi untuk mengurus surat kehilangan, harus ke bank untuk mengurus berbagai kartu, harus mengurus simcard bahkan aku juga harus ke bagian personalia kantor untuk mengurus beberapa hal.
Melelahkan sekali, belum lagi harus berhadapan dengan petugas-petugas menyebalkan yang masih mempersyaratkan harus adanya KTP, padahal jelas-jelas aku sudah menginfokan bahwa KTPku diambil oleh maling. Rasanya aku hampir gila!
***
“Buukkk…” kepalaku membentur kaca busway. Benturannya cukup keras sehingga membuatku terbangun. Untung saja kepalaku terbentur disaat yang tepat, kalau tidak, bisa saja aku bablas melewati halte tujuanku. Perjalanan panjang dari kantor menuju kos memang selalu melelahkan dan kerap kali membuatku ketiduran di busway. Ditambah beberapa hari setelah kejadian kemalingan itu, aku memang lelah secara fisik dan mental, aku bahkan menjadi banyak diam dan sedikit melow. Aku masih sering mengerutu dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Aku belum ikhlas dengan apa yang terjadi.
Pak Supir memperlambat laju busway dan berhenti sempurna di depan halte tujuanku. Aku keluar dari busway dan melangkahkan kaki dengan tatapan kosong. Lamunanku terbuyar oleh handphone jadulku yang berdering. Aku mengangkat panggilan itu tanpa benar-benar memperhatikan siapa yang sedang meneleponku.
“Halo,” jawabku
“Halo Nak, kamu apa kabar? Kamu baik-baik aja? Katanya, kamu habis kemalingan ya?” Suara dibalik telepon itu terdengar khawatir. Aku tertegun, aku menghentikan langkahku. Ternyata yang sedang meneleponku adalah ibuku. Kebohonganku terungkap.
“Halo Bu, aku baik-baik saja, Ibu apa kabar? Ibu dapat nomor ini dari siapa?” Jawabku setelah beberapa hari ini tidak memberi kabar pada orang tuaku.
“Ibu kabar baik, Ibu dapat nomor kamu dari Adek. Adek juga yang ngasih tahu bahwa kamu kemalingan. Emang benar kamu kemalingan? Kok bisa Nak? Apa aja yang hilang?” Ibu begitu penasaran dengan apa yang terjadi.
“Iya Bu, aku habis kemalingan. Aku ketiduran dan lupa ngunci kamar. Handphone sama dompetku hilang diambil sama malingnya,”
“Tapi kamu baik-baik aja kan Nak?” Ibu memastikan kembali kondisiku, ibu terdengar sedih bercampur khawatir.
“Iya Bu, aku baik-baik saja,”
“Syukurlah Nak, untung malingnya cuma ngambil handphone sama dompet kamu,” Aku shock mendengar perkataan ibu, kok bisa dalam kondisi seperti ini ibu malah “beruntung”?”
“Kamu pasti kecapean sekali ya sampai kamu ketiduran dan lupa ngunci pintu? Tapi gapapa Nak! Coba bayangin pas malingnya datang trus tiba-tiba kamu terbangun, bisa bisa itu maling malah menyerang kamu, mukul kepalamu atau melakukan hal lain yang membahayakan kamu. Gapapa kehilangan handphone dan dompet. Handphone bisa dibeli lagi, kartu-kartu penting bisa diurus, tapi masalah keselamatan, kita ga ada yang tahu,” aku hanya bisa diam dibalik telepon, tak sadar mataku berkaca-kaca hingga tak kuat menahan air mata.
Aku menangis sendirian di halte busway. Saat orang lain menghakimiku, ibuku benar-benar hadir dengan jawaban yang tak pernah kuduga. Bagaimana bisa dia malah bersyukur setelah kemalingan? Bagaimana bisa ibuku justru mengambil sisi baik dari peristiwa yang bahkan aku sendiri pun belum ikhlas?
Saat aku hanya memikirkan handphone dan dompetku yang hilang, ibuku justru bersyukur sebesar-besarnya karena si maling tidak membahayakan nyawaku, satu hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku sangat bangga dengan cara pandang ibuku yang berfokus pada sisi baik yang bisa disyukuri.
“Jangan terlalu dipikirin lagi ya Nak, namanya musibah kita ga pernah tau datangnya kapan. Kita jadikan ini sebagai pembelajaran saja, yang penting bagi bapak dan ibu, kamu baik-baik saja. Semoga setelah ini kamu lebih berhati-hati lagi. Untuk barang-barang yang hilang semoga nanti digantikan dengan rejeki yang baru ya Nak,” ibuku benar-benar memanfaatkan momen ini untuk membuatku merasa tenang, ikhlas dan tidak perlu menyalahkan diri sendiri.
Aku menarik napas, aku tidak ingin ibuku tahu bahwa aku sedang menangis karena sangat terharu dan bangga dengan apa yang baru saja dilakukannya.
“Iya Bu, aku baik-baik saja, aku sudah ikhlas, mulai hari ini dan seterusnya aku tidak akan memikirkan masalah ini lagi.” Aku menjawab ibuku dengan suara yang lega dan penuh keyakinan. Aku juga ingin ibuku merasa tenang dan tidak perlu lagi mengkhawatirkanku.
Pembicaraan kami berakhir. Aku berjalan meninggalkan halte busway dengan perasaan yang sangat lega. Beban di pundakku seperti runtuh, rasanya sangat plong. Ibuku berhasil menguatkanku dengan kata-katanya yang tidak aku duga sama sekali. Jika dipikir-pikir lagi, aku semestinya berysukur pada si maling karena tanpa disengaja telah memberiku pelajaran berharga.
Seandainya saja aku tidak menunda-nunda mencari kos baru, aku tidak akan pernah mengalami hal ini. Seandainya saja aku tidak langsung menolak ajakan Andre, sudah pasti aku tidak akan menyusahkan diriku beberapa hari ini. Saat Randy mengajakku untuk bertemu, aku malah fokus pada hal-hal negatif. Padahal harusnya Andre, Joshua, Abelle, dan Gwen bisa menjadi alasanku untuk tetap menerima ajakannya. Setidaknya mereka adalah orang-orang baik yang selalu menyenangkan dan mendukungku, tapi sayangnya aku malah fokus pada orang-orang yang tidak aku sukai.
Seandainya saja aku mengabari ibuku lebih awal dan tidak berpikir negatif tentangnya, mungkin aku sudah ikhlas sejak awal tanpa terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Tapi inilah hidup, kita selalu diberi pelajaran dengan cara yang tidak terduga.
***
Generated by ChatGPTHari ini aku berjalan menuju rumah Bapak Kos. Kedatanganku ke rumahanya bermaksud untuk menyerahkan kunci kamar kosku yang tidak akan kuhuni lagi. Ini adalah hari terakhirku tinggal di kos sialan ini setelah dua minggu sebelumnya aku sudah berhasil mendapat kos di dekat kantorku yang baru.
Aku mengetuk-ngetuk pintu rumah Bapak Kos. Tidak lama kemudian, Bapak Kos muncul dari balik pintu.
“Ini ya Pak kunci kamarku, terima kas…” mulutku berhenti berbicara. Di belakang Bapak Kos tiba-tiba muncul anaknya yang baru berusia kira-kira 1 tahun lebih sedang berjalan tertatih sambil menggenggam dan sesekali menggigit sebuah case handphone. Case handphone itulah yang membuatku terdiam.
Case handphone itu persis seperti case milikku yang hilang. Aku semakin yakin lagi karena di case itu terdapat sticker yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain selain aku dan timku di kantor. Sticker itu kami cetak dua bulan lalu saat kami sedang melakukan outing ke luar kota.
Mataku membesar, ekspresiku bercampur kaget dan marah. Kini aku dan Bapak Kos saling bertatap. Dia menyadari kalau kebohongannya telah terbongkar. Aku mengepalkan tangan. Hatiku penuh amarah. Haruskah aku bersyukur pada maling yang sedang mati kutu di hadapanku ini? Bukankah lebih baik jika aku menonjok wajahnya sekuat yang aku bisa?



