I created this blog to share my opinions, stories, recommendations, etc. I hope you find it useful!

Bersyukur Pada Maling


Aku menaiki tangga menuju kamar kosku. Langkahku tidak begitu semangat, selain karena kelelahan setelah naik busway hampir 2 jam, aku juga mulai tidak nyaman di kos yang tidak terawat ini. Dindingnya kusam, pintu-pintu kamarnya sangat tidak indah, ada yang dari kayu ada pula yang dari tripleks murahan. Di langit-langit banyak jaring laba-laba, lantainya kotor. Hari ini bahkan kedatanganku disambut oleh beberapa taik kucing yang berserakan di tangga dengan bau yang semerbak. Rasanya, lelahku semakin bertambah-tambah.

Aku jadi mempertanyakan diriku lagi, kenapa dulu memilih kos ini? Oh, aku ingat jawabannya, selain karena sangat dekat dengan kantor, harganya juga cukup murah. Dengan tinggal di kos ini, aku bisa cukup berhemat karena tidak perlu mengeluarkan ongkos, jalan 3 menit saja sudah sampai ke kantor. Sayangnya, kantorku tidak lagi di tempat yang sama.

Dua bulan yang lalu, kantorku berpindah ke daerah yang lebih elit, jaraknya menjadi puluhan kilometer dari kosku. Aku butuh transportasi umum untuk bisa sampai kesana. Pulang perginya menjadi sangat melelahkan. Mungkin karena itu, aku semakin tidak betah di kos murahan ini. Anehnya, meski sudah tidak betah, aku justru menunda-nunda mencari kos baru. Aku sudah malas duluan membayangkan betapa merepotkannya pindahan kos.

Aku sudah berada di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter itu, kunyalakan kipas angin, kulepas sepatuku, kukeluarkan handphone dan dompet dari kantong celanaku, lalu merebahkan diri di kasur usang beralaskan lantai yang entah sudah dipakai berapa penghuni. Badanku begitu kelelahan hingga tak sempat mengganti baju kantorku. 

Baru saja aku mau menikmati rebahanku, namun disaat yang bersamaan handphone yang aku letakkan di lantai berbunyi. Awalnya aku mengabaikannya, namun handphone itu terus berbunyi sehingga kuputuskan untuk mengangkatnya. Ternyata itu panggilan dari seorang teman lama.

“Halo Dre, apa kabar? Tumben kamu nelpon?” Aku menyapa Andre lewat handphone.

“Halo Ran, aku kabar baik, kamu gimana? Besok kan tanggal merah, kita nginep di rumah barunya Fendy yuk!” Andre terdengar sangat antusias dari balik handphone sekaligus menyadarkanku bahwa besok memang adalah hari libur.

“Emang ada acara apa Dre disana?” Jawabku dengan sedikit bingung.

“Ga ada acara apa-apa sih Ran, cuma mau ngumpul-ngumpul aja, silaturahmi, ketemu teman-teman lama, nanti ada Felix, Yohana, Rian, Jessica, ………” Andre menyebutkan begitu banyak nama dengan semangat, sedangkan aku sendiri tiba-tiba tidak fokus lagi mendengarkannya. 

Bagi Andre, semakin banyak nama-nama yang dia sebutkan semakin aku tertarik untuk ikut, padahal tidak. Justru sebaliknya, aku semakin tidak tertarik dengan ajakan Andre karena aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang sebanyak itu.

“Halo Ran…Randy, kok diem aja? Kamu ikut kan?” Aku mendengar kembali suara Andre dengan jelas.

“Kalo kamu ikut, berangkat malam ini juga ya, teman-teman yang lain sudah pada otw. Kamu ikut kan?” Andre menunggu jawabanku.

“Oh ok, nanti aku kabarin lagi ya Dre,” aku tidak ingin menolaknya secara blak-blakan.

“Oh yasudah, nanti chat aku ya kalo sudah ada keputusan. Thank you Ran!”

“Ok, Thank you Dre!” Percakapan kami berakhir.

Sebenarnya aku sudah punya jawaban. Aku tidak akan datang ke rumah Fendy, aku sengaja menunda menolaknya karena merasa tidak enak pada Andre. Pertemuan dengan teman-teman lamaku tidak lagi menyenangkan. Puncaknya adalah pertemuan tahun lalu. Pertemuan itu menjadi ajang pamer pencapaian. 

Beberapa mulut bahkan tidak bisa lagi berkata dengan baik “Ran, kamu masih dikantor yang lama ya?”, “Kamu ga mau nyoba cari pekerjaan yang lebih oke?”, “Kamu kurusan, lagi sakit ya atau bonusan kamu ga cair? Hahahaha becanda Ran,”, “oh kamu kesini naik busway? Aku kira naik mobil.”, “wah, kosmu murah juga ya, tapi ga ada ACnya kan ya? Kamar mandi di luar?”

Perkataan-perkataan itu membuat aku mual, belum lagi membayangkan betapa nyelenehnya ekspresi mereka. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjaga jarak. Orang-orang sukses itu bukan lagi orang yang sama. Apakah mereka yang terlalu polos dengan perkataan-perkataannya atau memang aku yang terlalu sensitif? Entahlah, aku pun bingung, yang pasti aku tidak begitu tertarik untuk bertemu mereka lagi.

10 menit berlalu, akhirnya aku memberi kabar pada Andre bahwa aku tidak bisa ikut, tentu saja dengan alasan yang aku karang-karang. Setelah memberi kabar, aku meletakkan kembali handphone-ku di lantai, aku tidak ingin memegangnya lagi, tidak ingin membuang-buang waktu seandainya Andre masih mempertanyakan alasanku tidak ikut, pokoknya kuabaikan saja handphone itu. Tanpa terasa, aku tertidur lelap. Lelap sekali seperti burung hantu di siang bolong.

***

Panas matahari yang menembus jendela mulai membuat kamarku terasa gerah. Aku membalik-balikkan badan, tubuhku berkeringat, tidurku sudah tidak nyaman lagi. Aku terbangun dan menyadari bahwa hari sudah siang, mataharinya sangat terik. Seperti kebiasaan anak muda jaman sekarang, yang aku cek pertama kali ketika bangun adalah handphone. Aku yang belum bangkit dari kasur mencoba meraba-raba lantai untuk mendapatkan handphone. 

Sayangnya aku tidak mendapatkan handphone-ku setelah beberapa kali mencoba. Kemudian aku membalikkan badan untuk melihat ke arah lantai dan aku kaget sekali. Handphone dan dompetku tidak ada di sana. Secepat kilat aku bangkit dari kasur. Kini aku berdiri dengan kesadaran penuh. Aku melihat pintu kamarku sudah setengah terbuka. 

Aku baru sadar, semalam aku cuma menutup pintu tanpa menguncinya. Itu pun tidak tertutup sempurna, sengaja aku buka sedikit supaya angin bisa masuk melalui celah yang ada, mengingat kos murahan ini sangat panas, kipas angin saja tidak cukup. 

Generated by ChatGPT

Sayang seribu sayang, semalam aku ketiduran dan lupa untuk mengunci pintu kamarku. Aku panik, aku mencari handphone dan dompetku di seluruh sudut kamar namun tidak kutemukan. Aku coba mengulang mencarinya lagi, tapi kali ini tidak hanya dengan perasaan panik tapi juga dengan perasaan sedih. Hatiku seolah mengatakan bahwa aku tidak akan menemukan apa yang sedang kucari. Pencarianku berhenti, hatiku berkecamuk. Aku kemalingan.

Aku duduk dan terdiam. Perasaan marah, kecewa, bingung dan tidak tenang memenuhi batinku. Aku belum menerima apa yang baru saja terjadi. Handphone, dompet serta kartu-kartu berharga di dalamnya lenyap diambil oleh maling. Perasaanku semakin sedih mengingat handphone tersebut baru aku beli beberapa bulan yang lalu setelah aku berhasil menabung dari gajiku yang tidak seberapa. Untungnya, uang yang ada di dalam dompetku tidak seberapa, tapi kartu-kartu di dalamnya tentulah sangat berharga. 

Hatiku semakin nyesek membayangkan bahwa aku harus kehilangan file-file berharga yang ada di handphone dan harus mengurus kembali KTP, NPWP, ATM dan yang lainnya. Merepotkan sekali mengurus hal-hal semacam itu. Aku benar-benar marah. 

Dalam kemarahanku, aku seperti dihakimi oleh pikiranku sendiri — Coba seandainya kamu ikut ajakan Andre, kamu tidak akan kemalingan seperti ini. Makanya kamu itu kalo diajakin jangan suka berbohong. Makanya jangan menunda-nunda cari kos baru. Makanya, makanya, makanya…” Aku seperti ditampar bolak-balik oleh kejadian ini.

Hidup tentu saja harus berjalan. Peristiwa sialan ini harus kuselesaikan. Aku membuka laci mejaku, dan aku sedikit lega karena handphone jadulku masih ada di sana. Kalau aku bisa menebak-nebak, sepertinya si maling hanya mengambil barang yang mudah dia raih tanpa mengotak-atik kamarku, dan semakin aku pikirkan lagi, si maling tidak merencanakan aksinya. 

Pada awalnya mungkin dia hanya melewati kamarku, kemudian dia melihat pintuku terbuka dan melihatku tertidur seperti mayat, lalu pikirannya dipenuhi oleh suara iblis dan mengambil handphone serta dompetku. Dengan kronologi seperti itu, bukankah seharusnya pelakunya adalah sesama penghuni kos? Jika iya, siapakah dia? Seingatku, semua penghuni kos ini bertampang alim dan terpercaya. Ah, aku tidak mau berprasangka buruk, tapi pikiranku ada benarnya juga.

Aku mengambil handphone jadul yang sudah kuabaikan berbulan-bulan. Aku mencoba mengisi baterianya dan untungya masih bisa menyala sekaligus menyadarkanku bahwa saat itu sudah hampir pukul 11 siang. Aku memukul jidatku sebagai bentuk penyesalan dan merasa konyol karena sudah tidur seperti orang mati. Kutunggu beberapa menit sampai baterainya terisi. 

Sembari menunggu, aku membeli kartu provider baru di counter kecil dekat kosku. Handphone jadulku ini masih bisa digunakan walaupun lemotnya sudah minta ampun. Beberapa kontak penting masih tersimpan di sana. Aku mulai mengabari ke adikku di kampung bahwa aku kemalingan dan untuk sementara hanya bisa dihubungi dinomor ini. 

Aku juga memintanya untuk tidak memberitahukan ke orang tua serta saudara-saudara lainnya karena tidak ingin mereka kepikiran dan terbebani. Aku membayangkan orang tuaku akan sangat kecewa dan akan menyemprotku dengan berbagai kata-kata. Aku tidak mau itu terjadi. 

Selain adikku, aku juga mengabari ke salah satu teman kantorku dan memintanya menambahkanku ke whatsapp group kantor sehingga aku tetap update dengan urusan pekerjaan. Setelah itu, aku akhirnya menginfokan ke bapak sang pemilik kos bahwa aku kemalingan. Seperti biasa, responnya tidak pernah menyenangkan. Dia justru menghakimiku dan menyebutku teledor. 

Menyebalkan walau dia tidak sepenuhnya salah. Kuabaikan saja kata-katanya itu dan meminta dia untuk datang ke kosan serta memohon bantuannya agar mengecek setiap penghuni kos. Jarak rumahnya hanya kurang lebih 200 meter dari kosan tapi katanya dia akan datang sekitar 1 jam lagi karena ada urusan, jadi aku diminta menunggu.

Kos murahan ini tidak punya CCTV, jadi sangat sulit untuk mengetahui siapa malingnya. Sekitar 20 meter di sebelah kiri kosanku sebenarnya ada CCTV yang mengarah ke jalanan dan kosku, sudah aku cek bersama Mas Alif, teman sebelah kamarku, namun tidak membuahkan hasil. Kosanku tidak tersorot jelas, ditambah pohon mangga di depannya menutupi siapa saja yang memasuki kos sialan itu. 

Kekesalanku semakin bertambah melihat tingkah Pak RT yang seolah tidak peduli dengan laporanku. Sebagai pemilik akses CCTV, dia tampak tidak sabaran dan buru-buru mengatakan bahwa tidak ada gunanya mengecek CCTVnya karena kosanku tidak tersorot dengan sempurna. Bukannya membantu dengan sabar, dia justru memperkeruh suasana.

“Makanya Mas, kalau mau tidur kunci pintu, sekarang ga ada orang yang bisa dipercaya, bisa aja teman-temanmu satu kosan yang ngambil.” Wajahnya tampak ingin menyuruhku agar cepat-cepat pergi.

Aku kesal tapi harus kuakui bahwa kata-katanya memang benar. Aku merasa seperti dihukum, sudah kemalingan tapi semesta seperti tidak sudi untuk membantuku. Aku akhirnya kembali ke kosan bersama Mas Alif tanpa hasil apapun.

Sembari menunggu Bapak Kos datang, aku mengobrol dengan Mas Alif di depan kamarnya.

“Mas, masa iya malingnya sesama penghuni kos ini?” Kataku sedikit berbisik

“Aku juga bingung, tapi kalo dipikir-pikir malingnya bisa aja sih Ran anak-anak di kos ini,” jawab Mas Alif dengan raut wajah kebingungan

“Seandainya pelakunya adalah salah satu anak kos di sini, menurut Mas Alif kamar nomor berapa pelakunya?” Tanyaku dengan penasaran. Sebenarnya pertanyaan ini sudah muncul dibenakku sejak awal, namun aku sendiri pun sangat kebingungan kalau harus menuduh satu orang.

“Jujur, aku ga bisa nyebutin satu nama, aku beneran bingung dan ga tau.” Ekspresinya tampak berpikir keras.

Mas Alif ternyata sama bingungnya denganku. Mungkin dia merasakan hal yang sama juga, meski kami tidak begitu dekat dengan seluruh penghuni kos, tapi hubungan satu sama lain bisa dibilang cukup baik dan tidak ada sosok yang mencurigakan.

Obrolan kami terhenti saat sosok Bapak Kos muncul di hadapan kami. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan sosok menyebalkan ini selain urusan sewa kos, tapi kali ini dia memang aku butuhkan karena sebagai pemilik kos tentu saja dia berhak untuk menggeledah setiap kamar.

“Kenapa bisa kemalingan Mas?” dia membuka pembicaraan walau aku tahu dia tidak sepenuhnya peduli. Aku pun menjelaskan kembali kronologi kejadiannya.

“Mumpung bapak sudah disini, aku minta tolong agar semua penghuni kos bisa dicek satu-satu Pak,” aku langsung mengutarakan permintaanku setelah menjelaskan ulang peristiwa kemalingan yang menimpaku.

Wajahnya mengkerut tampak tidak menyetujui permintaanku.

“Ga usahlah Mas, masa iya harus dicekin satu satu, ga enak sama mereka, belum tentu mereka pelakunya, lagi pula tidak semua penghuni sedang di kamar.” Dia menolak mentah-mentah permintaanku, aku terdiam dan cukup kecewa dengan responnya.

“Jadikan ini pelajaran Mas, besok-besok sebelum tidur pastikan pintu sudah dikunci.” Dia lagi-lagi menasehatiku. Kali ini aku sedikit muak mendengarnya ditambah tampangnya begitu arogan, membuatku sangat kesal.

“Supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi, gimana kalo kos ini dipasang CCTV Pak?” Aku bertanya sekaligus meminta supaya Bapak Kos mempertimbangkan memasang CCTV di kos murahan ini.

“Ga usah, ga perlu dipasang CCTV, kalian aja yang harus lebih berhati-hati ke depannya. Kalau pun mau dipasang, saya tidak bisa menjanjikan kapan akan dipasang.” Dia menjawab begitu cepat pertanyaanku dan ekspresinya menunjukkan penolakan keras.

Bapak Kos kemudian pamit meninggalkan kos setelah pembicaraan yang tidak menghasilkan apa pun. Aku lagi-lagi hanya bisa termenung dan meratapi nasib. Semesta sama sekali tidak mendukung, usahaku tak membuahkan hasil. Bagi orang lain, ini mungkin hanya peristiwa biasa tapi bagiku kemalingan ini benar-benar menamparku, memberiku banyak pelajaran.

***

Tak hanya membuat batinku berkecamuk, kemalingan ini juga membuatku lelah secara fisik. Setelah peristiwa sialan itu, beberapa hari setelahnya aku disibukkan dengan berbagai urusan. Aku bahkan harus mengambil cuti dari kantor. Maling sialan itu benar-benar sedang menghukumku. Aku harus ke kantor polisi untuk mengurus surat kehilangan, harus ke bank untuk mengurus berbagai kartu, harus mengurus simcard bahkan aku juga harus ke bagian personalia kantor untuk mengurus beberapa hal. 

Melelahkan sekali, belum lagi harus berhadapan dengan petugas-petugas menyebalkan yang masih mempersyaratkan harus adanya KTP, padahal jelas-jelas aku sudah menginfokan bahwa KTPku diambil oleh maling. Rasanya aku hampir gila!

***

“Buukkk…” kepalaku membentur kaca busway. Benturannya cukup keras sehingga membuatku terbangun. Untung saja kepalaku terbentur disaat yang tepat, kalau tidak, bisa saja aku bablas melewati halte tujuanku. Perjalanan panjang dari kantor menuju kos memang selalu melelahkan dan kerap kali membuatku ketiduran di busway. Ditambah beberapa hari setelah kejadian kemalingan itu, aku memang lelah secara fisik dan mental, aku bahkan menjadi banyak diam dan sedikit melow. Aku masih sering mengerutu dalam hati, menyalahkan diri sendiri. Aku belum ikhlas dengan apa yang terjadi.

Pak Supir memperlambat laju busway dan berhenti sempurna di depan halte tujuanku. Aku keluar dari busway dan melangkahkan kaki dengan tatapan kosong. Lamunanku terbuyar oleh handphone jadulku yang berdering. Aku mengangkat panggilan itu tanpa benar-benar memperhatikan siapa yang sedang meneleponku.

“Halo,” jawabku

“Halo Nak, kamu apa kabar? Kamu baik-baik aja? Katanya, kamu habis kemalingan ya?” Suara dibalik telepon itu terdengar khawatir. Aku tertegun, aku menghentikan langkahku. Ternyata yang sedang meneleponku adalah ibuku. Kebohonganku terungkap.

“Halo Bu, aku baik-baik saja, Ibu apa kabar? Ibu dapat nomor ini dari siapa?” Jawabku setelah beberapa hari ini tidak memberi kabar pada orang tuaku.

“Ibu kabar baik, Ibu dapat nomor kamu dari Adek. Adek juga yang ngasih tahu bahwa kamu kemalingan. Emang benar kamu kemalingan? Kok bisa Nak? Apa aja yang hilang?” Ibu begitu penasaran dengan apa yang terjadi.

“Iya Bu, aku habis kemalingan. Aku ketiduran dan lupa ngunci kamar. Handphone sama dompetku hilang diambil sama malingnya,”

“Tapi kamu baik-baik aja kan Nak?” Ibu memastikan kembali kondisiku, ibu terdengar sedih bercampur khawatir.

“Iya Bu, aku baik-baik saja,”

“Syukurlah Nak, untung malingnya cuma ngambil handphone sama dompet kamu,” Aku shock mendengar perkataan ibu, kok bisa dalam kondisi seperti ini ibu malah “beruntung”?”

“Kamu pasti kecapean sekali ya sampai kamu ketiduran dan lupa ngunci pintu? Tapi gapapa Nak! Coba bayangin pas malingnya datang trus tiba-tiba kamu terbangun, bisa bisa itu maling malah menyerang kamu, mukul kepalamu atau melakukan hal lain yang membahayakan kamu. Gapapa kehilangan handphone dan dompet. Handphone bisa dibeli lagi, kartu-kartu penting bisa diurus, tapi masalah keselamatan, kita ga ada yang tahu,” aku hanya bisa diam dibalik telepon, tak sadar mataku berkaca-kaca hingga tak kuat menahan air mata. 

Aku menangis sendirian di halte busway. Saat orang lain menghakimiku, ibuku benar-benar hadir dengan jawaban yang tak pernah kuduga. Bagaimana bisa dia malah bersyukur setelah kemalingan? Bagaimana bisa ibuku justru mengambil sisi baik dari peristiwa yang bahkan aku sendiri pun belum ikhlas? 

Saat aku hanya memikirkan handphone dan dompetku yang hilang, ibuku justru bersyukur sebesar-besarnya karena si maling tidak membahayakan nyawaku, satu hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Aku sangat bangga dengan cara pandang ibuku yang berfokus pada sisi baik yang bisa disyukuri.

“Jangan terlalu dipikirin lagi ya Nak, namanya musibah kita ga pernah tau datangnya kapan. Kita jadikan ini sebagai pembelajaran saja, yang penting bagi bapak dan ibu, kamu baik-baik saja. Semoga setelah ini kamu lebih berhati-hati lagi. Untuk barang-barang yang hilang semoga nanti digantikan dengan rejeki yang baru ya Nak,” ibuku benar-benar memanfaatkan momen ini untuk membuatku merasa tenang, ikhlas dan tidak perlu menyalahkan diri sendiri.

Aku menarik napas, aku tidak ingin ibuku tahu bahwa aku sedang menangis karena sangat terharu dan bangga dengan apa yang baru saja dilakukannya.

“Iya Bu, aku baik-baik saja, aku sudah ikhlas, mulai hari ini dan seterusnya aku tidak akan memikirkan masalah ini lagi.” Aku menjawab ibuku dengan suara yang lega dan penuh keyakinan. Aku juga ingin ibuku merasa tenang dan tidak perlu lagi mengkhawatirkanku.

Pembicaraan kami berakhir. Aku berjalan meninggalkan halte busway dengan perasaan yang sangat lega. Beban di pundakku seperti runtuh, rasanya sangat plong. Ibuku berhasil menguatkanku dengan kata-katanya yang tidak aku duga sama sekali. Jika dipikir-pikir lagi, aku semestinya berysukur pada si maling karena tanpa disengaja telah memberiku pelajaran berharga.

Seandainya saja aku tidak menunda-nunda mencari kos baru, aku tidak akan pernah mengalami hal ini. Seandainya saja aku tidak langsung menolak ajakan Andre, sudah pasti aku tidak akan menyusahkan diriku beberapa hari ini. Saat Randy mengajakku untuk bertemu, aku malah fokus pada hal-hal negatif. Padahal harusnya Andre, Joshua, Abelle, dan Gwen bisa menjadi alasanku untuk tetap menerima ajakannya. Setidaknya mereka adalah orang-orang baik yang selalu menyenangkan dan mendukungku, tapi sayangnya aku malah fokus pada orang-orang yang tidak aku sukai. 

Seandainya saja aku mengabari ibuku lebih awal dan tidak berpikir negatif tentangnya, mungkin aku sudah ikhlas sejak awal tanpa terus-terusan menyalahkan diri sendiri. Tapi inilah hidup, kita selalu diberi pelajaran dengan cara yang tidak terduga.

***

Generated by ChatGPT

Hari ini aku berjalan menuju rumah Bapak Kos. Kedatanganku ke rumahanya bermaksud untuk menyerahkan kunci kamar kosku yang tidak akan kuhuni lagi. Ini adalah hari terakhirku tinggal di kos sialan ini setelah dua minggu sebelumnya aku sudah berhasil mendapat kos di dekat kantorku yang baru.

Aku mengetuk-ngetuk pintu rumah Bapak Kos. Tidak lama kemudian, Bapak Kos muncul dari balik pintu.

“Ini ya Pak kunci kamarku, terima kas…” mulutku berhenti berbicara. Di belakang Bapak Kos tiba-tiba muncul anaknya yang baru berusia kira-kira 1 tahun lebih sedang berjalan tertatih sambil menggenggam dan sesekali menggigit sebuah case handphone. Case handphone itulah yang membuatku terdiam. 

Case handphone itu persis seperti case milikku yang hilang. Aku semakin yakin lagi karena di case itu terdapat sticker yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain selain aku dan timku di kantor. Sticker itu kami cetak dua bulan lalu saat kami sedang melakukan outing ke luar kota.

Mataku membesar, ekspresiku bercampur kaget dan marah. Kini aku dan Bapak Kos saling bertatap. Dia menyadari kalau kebohongannya telah terbongkar. Aku mengepalkan tangan. Hatiku penuh amarah. Haruskah aku bersyukur pada maling yang sedang mati kutu di hadapanku ini? Bukankah lebih baik jika aku menonjok wajahnya sekuat yang aku bisa?

Kritik untuk Film Tukar Takdir: Arahnya Kemana?


Sabtu, 4 Oktober 2025 saya akhirnya selesai menonton sebuah film yang sedang tayang di bioskop dengan judul “Tukar Takdir”. Saya bingung harus menilai film ini seperti apa. Menurutku semuanya serba tanggung. Ada part yang sangat bagus, ada pulak part yang bahkan jika dihapus tidak akan mengubah jalan cerita. Jika saya sebagai penonton bisa memilih, sebaiknya part itu dihapuskan saja.

Photo by Dan Meyers on Unsplash

Disclaimer: Ini hanyalah ulasan pribadi yang berfokus pada jalan cerita dan tentu saja sangat subjektif dan tendensius.

Saya tidak ingin bertele-tele, jadi saya akan menjabarkan poin-poin yang menurutku membuat film ini menjadi tidak menarik: 

“Gapapa Mas, sama saja” bukan adegan yang mengharukan tapi creepy dan kocak (?)

Setelah kecelakaan pesawat yang tragis, Rawa (diperankan oleh Nicholas Saputra) sebagai satu-satunya korban yang selamat, diselimuti rasa trauma yang sangat mendalam. Pikirannya banyak dihantui momen-momen terakhir selama berada di pesawat. Salah satu momen yang kerap kali menghantui pikirannya adalah adegan saat dia sepakat bertukar seat dengan Raldy, lalu adegan saat-saat terakhir Raldy meninggal di pesawat. Percakapan mereka yang cukup membekas adalah “Gapapa mas. sama saja”. “sama saja” merujuk pada: antara bangku 38D dan 38C sama saja, jadi Rawa yang tidak sengaja duduk di 38D tidak perlu berpindah ke 38C.

Sebagai titik awal jalan cerita, mestinya adegan traumatis ini (terutama ketika Raldy sudah meninggal) dibuat penuh haru dan penyesalan bukannya malah creepy dan mengarah ke kocak. Kenapa saya bisa berpendapat demikian? Karena setiap kali adegan itu muncul, saya bisa merasakan orang-orang yang menonton dengan saya saat itu malah ketakutan lalu diakhiri dengan tertawa. Sayapun merasa demikian. Menurut saya, jika ada orang yang tertawa disituasi yang seharusnya mengerikan maka filmnya gagal menyampaikan pesannya.

Respon terhadap kecelakaan pesawat yang tragis

Didunia nyata, kecelakaan pesawat itu selalu menyisakan luka pada semua keluarga penumpang. Itulah yang tidak tergambar difilm ini. Jikapun ada, hanya sekilas saja, tidak ada emosi kehancuran dan kehilangan yang dibangun terutama di awal film. Sebagai penonton, yang saya harapkan adalah adegan dimana banyak keluarga penumpang yang menjerit histeris, adegan dimana keluarga penumpang merasa hancur dan adegan-adegan lainnya yang menunjukkan kecelakaan pesawat ini telah menancapkan kepedihan pada hidup mereka.

Tapi justru yang dimunculkan adalah: kedatangan Dita istri Raldi (diperankan oleh Marsha Timothy) dengan suasana yang penuh amarah dan dendam. Lagi-lagi saya sebagai penonton, adegan yang saya harapkan adalah sesederhana Dita shock berat, menangis dan disertai kebingungan apakah suaminya masih hidup atau tidak. Sebenarnya yang dia rasakan sah-sah saja, tapi emosinya tetap harus dibangun perlahan bukan tiba-tiba “benci banget” sama maskapainya.

Disisi lain, Ibu Rawa yang akhirnya bertemu anaknya yang selamat dari kecelakaan tragis juga tidak menunjukkan emosi apapun, yang diperlihatkan justru adegan yang tampak kaku dan penuh misteri. Mestinya, mengingat kecelakaan pesawat itu jarang ada korban selamat, Ibu Rawa seharusnya histeris ketika akhirnya bertemu dengan anaknya, buru-buru memeluknya dan penuh dengan isak tangis. Tapi Tidak. Tidak ada emosi yang dibangun. Sekalipun hubungan dengan anaknya tidak baik, tetap saja, selamat dari kecelakaan pesawat sangat pantas untuk membuat seorang ibu histeris haru.

Makanya diawal film ini saya sempat berfikir “ini arahnya kemana ya? Kok aneh sih? Kok mereka jadi kayak psikopat semua? Musiknya kok malah menegangkan bukannya sedih? Apa mereka terlibat dalam kecelakaan ini?”

Intinya adalah: Diawal film ini, respon terhadap kecelakaan pesawat yang tragis, tidak dibangun dengan baik, emosinya serba nanggung. Tidak ada adegan yang benar-benar memilukan hati. Padahal itu sangat penting, karena dari situlah jalan cerita akan berkembang. Instead of menggambarkan situasinya seolah-olah adegan psikopat yang menegangkan (beberapa part), sebaiknya situasinya bisa disampaikan dengan lebih jujur saja, apa adanya.

Scene “panas” dengan Zahra sangat tidak penting bahkan layak dihilangkan

Bagi saya pribadi, Scene “panas” dengan Zahra (diperankan oleh Adishty Zara) sungguh tidak ada faedahnya. Tidak ada makna didalamnya. Tidak ada pesan moral yang bisa diambil. Bagaimana bisa seseorang yang mestinya sedang berkalut justru mengajak Rawa berhubungan intim? Tidak ada dasar yang kuat untuk hal tersebut. Sekalipun Zahra digambarkan sebagai anak yang akhirnya kurang perhatian dari orang tuanya, anak yang dibully karena kecelakaan pesawat dianggap kesalahan ayahnya, anak yang tidak punya hubungan baik dengan pacarnya, tetap saja tidak pantas untuk mengajak Rawa berhubungan intim. Dan paling parahnya lagi, Rawa justru seperti tidak memberikan perlawanan. Dibanding mengatakan “Stop Zahra, ini salah, kita tidak boleh…” tapi Rawa justru mengatakan “bukannya saya ga suka sama kamu, tapi….”

Artinya, Rawa setuju dengan perbuatan Zahra, hanya timingnya saja kurang tepat. Sungguh aneh!

Sampai pada adegan itu saya sedikit gamblang menyimpulkan “adegan ini mah sengaja dibuat untuk narik penonton, ini mah untuk bahan marketing”

Terbukti, pada poster film yang disorot malah Zahra bukan Purwanto (diperankan oleh Ariyo Wahab) yang lebih punya peran krusial sepanjang film berlangsung.

Jalan cerita makin tidak terarah. Rawa digambarkan penuh traumatis, tapi kok malah sanggup berbuat demikian sama anak pilot yang membawa pesawatnya. Zahra digambarkan sedang berduka, tapi kok mengajak pria yang baru dikenalnya berhubungan intim? Secara psikologis, apa hal yang mendasarinya? Merasa kurang perhatian, kenapa malah ngajak berhubungan intim?

Saya sangat menyayangkan hubungan mereka digambarkan seperti itu. Akan lebih pas jika hubungan yang dibangun diantara mereka adalah hubungan kakak adik atau hubungan dengan paman dan keponakan bukan malah hubungan yang tidak sehat.

Secara kulturpun kurang tepat, sebagai orang Asia, kita belum sepenuhnya hilang dari nilai-nilai konservatif. Sikap yang diperankan Zahra terlalu progresif atau liberal-tidak cocok dengan nilai-nilai ketimuran.

Penutup

Sebenarnya premis dari film ini bagus dan sangat fresh untuk Film Indonesia tetapi cukup disayangkan banyak adegan yang tidak mensupport situasi yang sedang ditunjukkan. Emosi yang dibangun bukan naik turun tapi lebih ke tidak terarah terutama diawal-awal film.

Yang saya suka dari film ini adalah semua hal yang berhubungan dengan tragedi pesawatnya, mulai dari sinematografi, penjelasan mengenai kecelakaan pesawatnya, simulasi yang dibuat hingga adegan-adegan mengerikan selama penerbangan. Mengingat tema mengenai pesawat sangat jarang diangkat diperfilman Indonesia, setiap detail mengenai kecelakaan pesawat yang disampaikan dalam film ini sangat pantas untuk mendapatkan apresiasi.

Hal yang juga perlu diapresiasi di film ini adalah keseluruhan akting pemain yang sangat totalitas. Adegan yang paling membekas di ingatan saya adalah ketika Dita (Marsha Timothy) menangis sejadi-jadinya di mobil. Bagi saya, rasa terpukulnya benar-benar sampai ke penonton.

Pada akhirnya, ini hanyalah ulasan maupun kritik yang sangat subjektif. Beberapa hal mungkin akan kalian mengerti setelah menontonnya. Setuju ataupun tidak setuju dengan pendapat saya ini merupakan hal yang sangat normal.

Kerja di Indomaret


 #Cerpen: Kisah-kisah “sederhana” yang mungkin tidak akan dialami oleh seorang PNS

Perjalanan Aldo cukup panjang untuk sampai ke kampung halaman. Setelah menaiki pesawat, dia harus menempuh jalur darat beberapa jam lagi untuk tiba ditujuan. Minibus yang ditumpanginya melaju sangat kencang. Dia tak bisa protes soal itu. Justru aneh jika minibus andalan kampungnya itu melaju mengikuti peraturan, begitulah kebiasaannya selama ini. Supirnya tidak perlu diragukan, selalu ugal-ugalan. Syukurnya, minibus selalu sampai ke tujuan dengan selamat.

Akibat ulah sang supir, kepala Aldo sudah terbentur beberapa kali ke jendela. Untungnya, itu adalah benturan-benturan kecil yang tidak berbahaya dan rasa sakitnya masih bisa ditahan. Tapi kali ini benturannya cukup sakit sehingga Aldo harus terbangun dari tidurnya. Bak alarm tidur yang memaksanya untuk bangun, benturan itu justru menghadiahinya sebuah pemandangan yang indah. Terlihat senyum bahagia di wajah lelah Aldo, matanya berbinar penuh bahagia dan rindu. Dari balik jendela minibus rewot itu, terpampang keindahan kampung halaman yang sudah tidak dia lihat 2 tahun terakhir. Bukit-bukit yang indah, danau yang luas dan disinari oleh matahari sore membuat pemandangan itu seperti lukisan. Senyumnya semakin merekah saat menyadari bahwa tak lama lagi dia akan segera bertemu dengan keluarga besarnya. Ditambah, saat ini Aldo pulang dengan status tak lagi sebagai mahasiswa, namun sebagai seorang karyawan swasta yang sudah bisa menghidupi dirinya sendiri.

Minibus berhenti tepat di depan rumah Aldo. Terlihat orang tua, saudara dan para keponakan Aldo sudah bersiap di depan rumah untuk menyambutnya. Aldo bergegas turun dan langsung memeluk kedua orang tuanya serta seluruh orang yang ada di rumah itu. Suasana bahagia tergambar jelas ditengah keluarga Aldo. Malam itu, Aldo dan keluarganya mengabiskan waktu dengan mengobrol dan melepas rindu. Orang tua dan saudara-saudara Aldo bangga kepadanya karena akhirnya berhasil mendapat pekerjaan dan sudah bisa menghidupi diri sendiri.

***

Ini adalah hari ketiga Aldo berada di kampung halaman. Pagi ini dia ikut serta membantu orang tuanya jualan di pasar. Banyak teman-teman ibunya yang masih mengenalinya, namun banyak juga yang sudah lupa-lupa ingat. Maklumlah, sejak kuliah dan kerja, Aldo memang jarang pulang kampung. Aldo tidak menyangka bahwa keberadaannya di pasar tak hanya untuk membantu orang tua tapi justru jadi ajang silaturahmi dengan beberapa orang. Aldo menikmatinya.

Hari sudah menjelang siang dan pengunjung mulai sepi. Seorang ibu datang menghampiri Aldo dan Ibunya. Aldo tak asing dengan ibu tersebut. Benar saja, itu adalah Bu Bolo. Bu Bolo adalah sahabat ibunya yang juga sesama pedagang di pasar. Ibu Aldo kerap kali menceritakannya karena orangnya baik dan senang membantu. Pertemuan itu diwarnai dengan obrolan yang hangat dan penuh candaan. Ditengah perbincangan mereka, Ibu Aldo menarik Aldo ke belakang dan berbisik di telinganya.

“Nak, kalo kamu lagi bawa uang, kasih sedikit THR ke Bu Bolo ya. Dia orang baik, selama ini udah banyak nemenin dan bantu ibu” Wajah Ibu Aldo tampak memohon.

“Oh, baik bu!” Aldo mengangguk tanpa penolakan dan langsung meraih dompet yang ada di kantongnya. Aldo mengambil beberapa lembaran merah dan menggenggamnya cukup erat sehingga uang tersebut terlipat menjadi lembaran kecil. Aldo menghampiri Bu Bolo dan segera menyalaminya.

“Bu, ini ada sedikit rejeki dari saya. Lumayan buat nambah-nambah beli gula dan minyak goreng,” Aldo memberi dengan gembira dan disertai dengan senyum yang tulus.

“Aduh Nak, terima kasih banyak ya, semoga kamu semakin banyak rejeki.” Bu Bolo menerima pemberian Aldo dengan ekspresi bahagia bercampur kaget sambil menepuk-nepuk pundak Aldo.

“Memangnya kamu kerja dimana sekarang?” Bu Bolo bertanya dengan penasaran.

“Saya kerja di Indomaret Bu.” Aldo menjawab tanpa berpikir panjang

Seketika ekspresi Bu Bolo langsung berubah. Tampang yang tadinya bahagia, kini menunjukkan ekspresi iba. Tampang Aldo ikutan berubah, yang tadinya bahagia menjadi sedikit bertanya-tanya.

“Oh, kerja disitu, ya sudah kamu baik-baik ya kerjanya.” Respon dan ekspresi Bu Bolo saat ini sangat jelas menunjukkan rasa kasihan, tidak ada rasa bangga. Situasi menjadi sedikit canggung. Aldo dan ibunya saling bertatap walau diakhiri dengan saling tersenyum geli pertanda mereka memahami ekspresi Bu Bolo. Aldo menebak-nebak pikiran Bu Bolo “Pasti Bu Bolo mengira saya kerja sebagai kasir di Indomaret… Tapi, emangnya kenapa kalo kerja sebagai kasir di Indomaret, emang salah?” gumam Aldo dalam hati.

Pertemuan disiang hari itu berakhir. Aldo merasa konyol sekaligus menyadari bahwa orang-orang di kampungnya masih terjebak dalam cara pandang yang sempit. Bagi mereka, pekerjaan sukses hanyalah mereka yang berseragam PNS. Pemikiran ini sudah tumbuh sejak lama dan masih bertahan hingga saat ini. Beberapa teman Aldo juga mengeluhkan hal yang sama. Aldo bukannya ingin dipuji dan dianggap sukses, tapi memasang wajah kasihan saat mendengar seseorang bekerja di Indomaret adalah hal yang miris. Menjadi seorang PNS adalah pekerjaan yang mulia, tapi bekerja dengan tidak menjadi PNS tetaplah berharga.

***

Ini adalah hari keempat Aldo menikmati hidup di kampung tercintanya. Dua hari yang lalu, Aldo dan Joan mendapat ajakan dari Dea teman lama mereka untuk berkunjung ke rumahnya. Mereka bertiga lulus dari SMA yang sama. Ketiganya kuliah di Jawa namun berbeda kampus. Momen pulang kampung jadi salah satu momen yang mereka nantikan untuk saling melepas rindu. Aldo dan Joan menerima dengan hangat ajakan Dea.

Sekitar pukul 1 siang, Aldo dan Joan tiba di depan rumah mewah Dea. Tak lama menunggu, Dea langsung menyambut mereka dengan penuh semangat dan mempersilahkan untuk masuk ke rumah. Di dalam rumah, kedua orang tua Dea juga sudah bersiap menyambut Aldo dan Joan. Mereka bersalaman dan saling bertanya kabar. Lalu kedua orang tua Dea mengajak Aldo dan Joan menuju meja makan. Terlihat meja makan mewah itu penuh dengan berbagai makanan enak. Dea memang berasal dari keluarga kaya. Bapak dan Ibunya adalah PNS Eselon II.

“Ayo dimakan ya, harus makan banyak. Ibu dan Dea udah capek-capek loh masak ini semua.” Ibu Dea mengajak bersantap siang dengan sangat antusias dan sedikit bercanda.

“Iya bu, makasih banyak ya, jadi ga enak nih udah ngerepotin.” Joan membalas dengan candaan. Lalu disambut dengan tawa kecil dari semua orang di meja makan itu. Aldo dan Joan memang tidak akan bisa menolak makanan itu karena sehari sebelumnya Dea sudah menginfokan bahwa mereka harus makan siang di rumahnya. 5 orang di meja makan itu terlihat sangat menikmati santapan siang dan diwarnai dengan obrolan ringan diantara mereka.

“Joan kerja dimana sekarang?” Ayah Dea bertanya dengan wajah serius.

“Aku di Kemenkumham Om.” Joan membalas sembari menikmati ikan bakar di hadapannya.

“Wah, bagus sekali. Hebat ya kamu. Sama kayak Dea, dia juga di Kementerian tapi beda Kementerian aja. Kalo Dea di Kemenkeu.” Wajah Ayah Dea terlihat bangga kepada Joan.

“Kamu di Kemenkumham pusat?” Ayah Dea sangat tertarik dengan pekerjaan Joan

“Orang tua kamu pasti bangga. Walau tinggal di kampung tapi kamu bisa membuktikan bahwa orang kampung pun bisa menjadi PNS di Kementerian.” Lagi lagi Ayah Dea memuji Joan dan dia banyak bertanya soal pekerjaan Joan, sementara Joan hanya mengangguk-angguk tak banyak merespon, menunjukkan gelagat tidak nyaman. Saat ini Dea dan Joan memang berstatus sebagai PNS Kementerian. Mereka sangat membanggakan kerena langsung diterima dipercobaan pertama mereka melamar jadi PNS.

Kini giliran Aldo yang diinterview oleh Ayah Dea.

“Kalo Aldo, kerja dimana sekarang?” Perasaan bangga dengan Joan masih tertinggal di wajah Ayah Dea.

“Aku kerja di Indomaret Om.” Aldo selalu menjawab dengan yakin dan apa adanya.

“Oh, di Indomaret.” Balas Ayah Dea dengan singkat. Tak ada wajah bangga dan penasaran yang terlihat. Redup.

“Tahun depan kayaknya masih ada penerimaan PNS, kamu coba saja Aldo siapa tau menang, jadi kamu ga kerja di Indomaret lagi.” Ayah Dea memberi saran dengan tatapan yang tak lagi begitu tertarik dengan Aldo. Aldo hanya mengangguk-angguk meski tidak nyaman. Dia tidak ingin membuat celotehan Ayah Dea menjadi sebuah masalah. Berbeda dengan Joan yang dikulik cukup dalam oleh Ayah Dea, Aldo hanya diajak berbicara sesingkat pembicaraan diatas. Dea dan ibunya menyadari situasi itu dan terlihat merasa tak nyaman. Begitu pun dengan Joan. Dilain sisi, Aldo tak mau membuat dirinya dikasihani, jadi dia tetap asik menikmati makanan seperti tidak ada masalah. Makan siang berakhir.

Di ruang tamu, tak lama setelah makan siang mereka selesai, dari balik pintu terdengar ada orang yang memanggil. Ibu Dea segera bergegas membukakan pintu. Ternyata, tamu mereka hari ini tidak hanya Aldo dan Joan tapi beberapa kerabat Dea juga ingin bersilaturahmi.

“Silahkan masuk, silahkan” Ibu Dea mempersilahkan tamu-tamunya. Ada sekitar 4 orang.

“Wah lumayan rame disini, ternyata ada tamu lain ya selain kami. Siapa aja ini?” Salah satu ibu bertanya sambil menyalami Dea dan ayahnya.

Secepat kilat Ayah Dea langsung memberi respon.

“Ini Joan temannya Dea. Orang Kementerian nih dia. Hebat. Sekali coba PNS langsung lolos.” Ayah Dea begitu bersemangat.

“Wah hebat sekali kamu.” Tamu-tamu meperhatikan Joan dengan penuh antusias. Perhatian kini beralih pada Joan dan dilempari dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Joan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu walau terlihat jelas rasa tidak nyaman tergambar di wajahnya.

Aldo yang sedari tadi berdiri agak jauh dari mereka secara alami menunggu dirinya untuk diperkenalkan kepada para tamu. Namun karena Aldo tidak menarik bagi Ayah Dea, maka perkenalan itu pun tidak pernah terjadi. Dea dan Joan benar-benar terlihat tidak nyaman atas situasi yang dialami Aldo. Namun Aldo selalu hebat dalam mengendalikan diri. Senyuman tetap merekah di wajahnya. Dea mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak Aldo dan Joan bermain di lantai 2 dan meninggalkan tamu-tamu orang tuanya.

***

Ini adalah hari kelima Aldo di kampung halaman dalam rangka merayakan nataru. Seperti biasanya, momen-momen pulang kampung seperti ini selalu dia manfaatkan untuk bertemu dengan teman-teman lamanya. Di depan rumahnya ada John bersama motornya yang sudah menunggu Aldo. Sore ini mereka mau nongkrong di sebuah kafe dan bertemu dengan teman-teman lainnya yang juga sedang balik dari perantauan. Aldo menaiki motor dan John memboncengnya menuju kafe. Jarak kafe yang mereka tuju tidaklah terlalu jauh sehingga John hanya melaju dengan pelan. Dari kejauhan, mereka terlihat asik berbincang di motor sambil sesekali tertawa. Mereka sudah tiba di depan kafe dan John tiba-tiba mengerem mendadak karena dihentikan oleh seseorang.

“Eh, kamu Aldo kan?” suara lantang itu terdengar sangat jelas

“Iya…” Aldo menyodorkan tangannya ke orang tersebut, menatap wajahnya sambil mencoba mengingat-ingat siapa gerangan orang yang sedang menyapanya.

“Eh Firman, apa kabar?” Aldo menyalami pemuda itu dengan erat, kini dia mengetahui bahwa itu Firman, teman semasa SMPnya. Wajah Aldo berbinar atas pertemuan yang tidak terduga itu.

“Aku kabar baik, kamu kerja dimana sekarang?” Firman menanyai Aldo yang belum sempat turun dari motor.

“Aku kerja di Indomaret Fir,” lagi-lagi Aldo menjawab apa adanya.

“Kamu udah jauh-jauh kuliah di Jawa kok kerja di Indomaret.” Wajah Firman tiba-tiba sinis dan sedikit merendahkan.

Binar di wajah Aldo sedikit meredup, dia cukup kaget dengan respon yang diberikan oleh teman lamanya itu. Tapi Aldo langsung cepat-cepat mengendalikan diri.

“Ya begitulah Fir,” sekarang Aldo terlihat tersenyum geli dan John yang dari tadi hanya diam juga ikut tersenyum. Mereka menyadari bahwa itu adalah situasi yang tidak perlu direspon dengan serius walau Firman serius dengan kata-katanya.

Pembicaraan mereka tiba-tiba dibubarkan oleh beberapa motor yang juga memasuki area kafe. Firman yang melihat kedatangan motor-motor tersebut, dengan sigap meniup peluitnya dan mengarahkan motor-motor tersebut ke area parkir yang kosong. Begitu juga dengan John yang segera memarkirkan motornya. Sebelum memasuki kafe, Aldo dan John kemudian berpamitan dengan melambaikan tangannya ke Firman yang sedang sibuk menyusun kendaraan para pengunjung kafe.

Aldo menyikapi situasi-situasi yang dia hadapi dengan santai. Jika terpancing dengan situasi tersebut dan mengikuti egonya, dia bisa saja menjelaskan bahwa dia bekerja di kantor pusat Indomaret sebagai salah satu staff keuangan dan berkantor di Ibu Kota dengan gedung puluhan lantai. Tapi bukan itu yang terpenting, apalagi orang-orang yang merasa iba padanya lebih memilih untuk menjudge daripada bertanya lebih lanjut. Aldo menyadari penuh bahwa rasa kasihan yang dia terima itu muncul karena orang-orang mengganggap dia kerja sebagai kasir di Indomaret. Pertanyaan selanjutnya, memangnya kenapa kalau bekerja sebagai kasir Indomaret?

Aldo teringat kembali momen dimana dia pertama kali memberitahukan ke saudaranya bahwa ia diterima bekerja di Indomaret. Saudaranya merespon dengan sangat bijak “Bahkan sekalipun kamu bekerja sebagai kasir, kakak tetap bangga dan bersyukur apalagi ini adalah pekerjaan pertamamu, yang terpenting adalah kamu sudah bisa hidup dengan kakimu sendiri.”

Menjadi salah satu staff keuangan di perusahaan retail yang cukup besar tentu saja tidak ada apa-apanya dibanding pencapaian orang-orang hebat di luar sana. Tapi menganggap rendah orang lain atas pekerjaan yang tidak sesuai dengan standard masyarakat bukankah sebuah hal yang ironis?

Aldo mensyukuri bahwa ia terlahir ditengah keluarga yang meyakini bahwa pekerjaan yang membanggakan itu bukan hanya PNS. Semua pekerjaan yang halal dan tidak melanggar peraturan layak untuk dirayakan, termasuk menjadi kasir atau bahkan tukang parkir sekali pun.

Kekuatan Beres-Beres Kamar



Tulisan ini mungkin tidak akan relate bagi semua orang tapi saya tetap ingin membagikannya. Meski begitu, saya juga meyakini bahwa banyak orang yang mungkin saja sudah lebih dulu merasakan manfaatnya. Tak hanya bagi mereka yang hidup sebagai anak kos, saya berharap tulisan ini juga bisa memberi manfaat kepada banyak orang dengan latar belakang apapun. Ini hanyalah pengalaman pribadi, bukan sebuah riset bertahun-tahun, jadi jika tidak sesuai dengan ekspektasi kalian, mohon diabaikan saja.

Pernahkah kalian merasa kelelahan setelah bekerja sepanjang hari? Tak hanya lelah secara fisik, banyak diantara kita juga lelah secara mental setelah menghadapi berbagai drama di kantor, pekerjaan yang menumpuk, hubungan yang sedang tidak baik dengan partner kerja bahkan dengan orang-orang terdekat kita. Disaat-saat yang terpuruk seperti ini, salah satu hal yang setidaknya kita butuhkan adalah menjauh dari keramaian dan istirahat di kamar tanpa gangguan siapa pun.

Tapi, apa jadinya ketika kamu kembali ke kos untuk istirahat namun yang kamu temui adalah kamar kotor yang sangat berantakan? Percayalah, yang kamu dapat setelah melihat kamar kotormu itu hanyalah energi buruk. Lelahmu semakin bertambah-tambah, semangatmu semakin kendor dan ujung-ujungnya energimu sudah habis lebih dulu sebelum sempat membersihkannya. Akhirnya kamu tertidur di kamar yang kotor dengan mood yang tidak membaik. Sialnya, pola seperti ini bisa terjadi dalam kurun waktu yang lama.

Ingat, ini bukan perkara kita memiliki gaya hidup yang kotor atau bersih tapi ini adalah persoalan tentang membersihkan yang sudah terlanjur kotor. Perlu diketahui bahwa ketika kita menyadari sesuatu kotor, maka sebenarnya otak kita juga memahami apa itu bersih. Namun, pada kondisi tertentu kita seperti tidak punya waktu untuk beres-beres karena berbagai hal, termasuk kelelahan dan stress yang kita alami. Persoalan selanjutnya adalah kapan kita akhirnya mau membersihkan yang kotor itu?

Saya pernah kembali dari kantor lalu menemui kamar saya dengan kondisi yang sudah tidak karu-karuan. Lantainya kotor, kasur berantakan, baju kotor menumpuk, banyak peralatan yang sudah tidak pada tempatnya, di langit-langit bahkan sudah ada jaring laba-laba, piring bekas makan saya kemarin bahkan 3 hari sebelumnya belum dicuci, kamar mandi yang berantakan dengan lantai yang hanya disikat seadanya, bau kamar yang tidak sedap hingga udara yang sangat pengap. Setelah saya lihat-lihat, dibeberapa sudut kamar juga kondisinya lembab yang membuat cat dinding kamar saya memudar dan kotor. Intinya sangat kacau balau. Semua itu tentu bukan tanpa sebab. Beberapa bulan terakhir saya memang cukup stress, banyak planning yang berantakan, pekerjaan yang menumpuk, hubungan dengan beberapa orang yang memburuk dan banyak hal lainnya. Saya hanya menjalani hari sebagai rutinitas dan sama sekali tidak produktif. Tumpukan masalah-masalah itu benar-benar menutup niat saya untuk beberes. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, energi kita sudah habis terlebih dahulu sebelum sempat membersihkannya. Ditengah-tengah kekacauan itu, saya bahkan harus bekerja ke luar kota dan meninggalkan kos dengan waktu yang cukup lama. Akhirnya, kamar yang kotor semakin kotor.


Source: Generated by ChatGPT

Pada akhirnya segala sesuatu yang tidak baik harus diakhiri. Saya mulai mengakhiri kekotoran ini dengan mengambil langkah pertama. Saya menghubungi pemilik kos dan meyampaikan permintaan agar kamar saya dicat ulang karena dibeberapa bagian sudah tampak kotor dan memudar. Tanpa banyak drama, pemilik kos langsung menjadwalkan tukang untuk mengecat ulang kamar saya. Singkat cerita, kini dinding kamar saya sudah tampak lebih bersih dengan cat yang baru. Namun, ini baru dindingnya saja. Ditengah-tengah kamar berukuran 3 × 4 meter itu, terlihat sangat berantakan dengan tumpukan barang yang banyak. Maklumlah, tukangnya menggeser semua barang-barang saya ke tengah kamar agar dia leluasa untuk mengecat.

Urusan saya dengan tukang cat selesai. Sekarang saya berurusan dengan tumpukan barang-barang yang saya sendiri pun bingung, kenapa bisa sebanyak ini? Tapi tidak apa-apa, akan saya bereskan. Jujur saja, ketika saya melihat kamar saya dengan cat yang baru, mood saya sedikit membaik dan cukup bersemangat untuk beberes. Saya mulai dengan menyortir mana saja barang yang masih saya perlukan dan mana saja barang yang sudah seharusnya saya buang. Disini saya menyadari bahwa saya kerap kali mengumpulkan barang yang sebenarnya tidak benar-benar saya butuhkan. Contohnya adalah paper bag, kotak-kotak produk dan yang lainnya. Saya membuang semua barang-barang itu dan hanya menyisakan barang-barang yang saya butuhkan. Tentu saja saya belum mampu melakukan hal se-ekstrim yang dilakukan oleh Fumi Sasaki dalam bukunya yang berjudul “Goodbye, things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang” dimana dia membuang barang-barangnya dalam jumlah yang sangat banyak.

Kegiatan sortir menyortir selesai. Kini saya membersihkan setiap barang yang tersisa. Debunya sunggulah banyak menandakan bahwa saya telah mengabaikan mereka cukup lama. Setiap barang saya susun dan tempatkan dengan benar untuk mendapatkan lay out terbaik. Saya mengganti seprai kasur dan sarung bantal, memasukkan baju kotor ke plastik untuk dilaundry, mencuci piring kotor yang bertumpuk, menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kamar mandi dan lain sebagainya. Tak terasa saya sudah menghabiskan waktu berjam-jam dan hasilnya adalah kamar saya tampak sangat berbeda. Sekarang saya sangat menyukainya, semangat saya bertambah-tambah. Namun yang lebih luar biasanya adalah dampak positif yang saya dapatkan setelah beres-beres kamar ini. Sesuatu yang saya tidak pernah duga sebelumnya.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kepulangan saya ke kos tidak lagi disambut dengan kamar bak kapal pecah. Ketika saya membuka pintu, mood saya langsung membaik. Saya disambut dengan buku-buku yang tersusun rapi di rak. Buku itu sudah saya kelompokkan dengan beberapa kategori, buku yang belum dibaca sama sekali, buku yang sudah selesai dibaca dan buku yang sedang dibaca. Saya melihat kasur tampak sangat rapi, seprai dan sarung bantal dengan motif yang sama serta selimut yang terlipat sempurna. Meja kerja saya tampak luas setelah membuang banyak barang yang selama ini memenuhi meja tersebut. Piring dan gelas tersusun rapi pada rak piring. Tumpukan baju kotor tidak terlihat lagi pada keranjang. Peralatan mandi saya berjejer dengan rapi di kamar mandi. Lantai kamar terlihat bersih mengkilap begitu pula dengan dinding-dindingnya. Udaranya wangi dan segar. Ini adalah tempat pelarian yang sempurna.

Source: Generated by ChatGPT

Tak hanya memberi pemandangan yang indah, ternyata kamar yang sudah dibereskan ini juga mempengaruhi saya secara mental. Apakah dengan kamar yang bersih masalah saya langsung hilang? Tentu saja tidak. Tapi setidaknya, ketika saya ingin menghindar dari keramaian dan beristirahat, kamar ini mampu menjadi tempat ternyaman. Misi untuk beristirahat tanpa terganggu bisa terwujud di kamar yang bersih ini. Ketika saya memasuki kamar, wajah saya tidak lagi masam. Hebatnya lagi, banyak kebiasaan positif yang justru muncul saat kamar saya terlihat bersih dan rapi.

Dulu, ketika merasa lelah pulang dari kantor, saya sering kali langsung merebahkan tubuh di kasur. Sekarang tidak lagi. Jika saya ingin rebahan, saya wajib ganti baju dan mandi atau setidaknya mencuci kaki dan tangan. Rasanya saya tidak ikhlas kalau harus mengotori kasur dengan pakaian yang sudah bercampur dengan debu dan keringat. Selain itu, ketika saya selesai makan malam, saat itu juga piring yang saya gunakan langsung dibersihkan sehingga tidak ada piring kotor yang menumpuk. Lagi-lagi, saya seperti tidak tega jka kamar bersih ini harus kotor kembali.

Sebelumnya, saya selalu berangkat ke kantor dan meninggalkan kamar dengan kondisi yang berantakan. Namun, sejak beres-beres yang saya lakukan, saya selalu meluangkan waktu untuk beberes dipagi hari. Tujuannya sederhana, saya ingin kembali dari kantor dan disambut oleh kamar yang bersih dan wangi. Saya tidak mau menunggu kamar ini sampai menjadi kapal pecah lagi baru dibersihkan. Sampai dititik ini, tanpa disadari saya sudah terkena efek domino yang sangat nyata.

Begini efek domino yang saya rasakan. Tujuan awal saya adalah bagaimana caranya mempertahankan kamar ini agar selalu tetap bersih kapan pun saya memasukinya. Salah satu caranya adalah dengan wajib beres-beres dipagi hari sebelum berangkat ke kantor. Jika ingin beres-beres dipagi hari maka saya harus bangun lebih awal. Jika ingin bangun pagi lebih awal, maka saya harus tidur malam lebih awal juga. Dua hal tersebut berhasil saya lakukan. Efek nyata yang secara tidak langsung juga saya dapatkan adalah saya tidak pernah lagi begadang dan terlambat ke kantor ditambah tubuh saya juga menjadi lebih fit setiap harinya.

Efeknya tidak sampai disitu saja. Saya menjadi terbiasa bangun pagi dan langsung beres-beres. Nah, ketika saya selesai beres-beres, saya masih punya jeda waktu yang cukup banyak sebelum bersiap ke kantor. Jeda waktu tersebut saya gunakan untuk membaca buku atau olahraga atau bahkan keduanya secara bergantian. Jika diurutkan maka prosesnya akan menjadi: bangun pagi beres-beres baca buku olahraga berangkat ke kantor. Ingat, tujuan awal saya adalah untuk mempertahankan supaya kamar kos ini tetap bersih dan wangi. Tapi kalian bisa hitung sendiri seberapa banyak kebiasaan baru positif yang berhasil saya terapkan.

Belum berhenti sampai disitu. Sekarang saya menjadi konsisten baca buku dan olahraga. Karena saya sudah konsisten olahraga, saya mulai memikirkan berapa berat badan ideal saya dan seperti apa pola makan yang baik? Begitu juga dengan baca buku, saya semakin rajin mencari buku-buku yang menarik untuk dibaca. Hebatnya, saya melakukan itu semua dengan senang hati, tanpa ada ekspektasi dan tekanan apapun. Semuanya mengalir begitu saja.

Saya sendiri meyakini segala sesuatu yang baik akan mendatangkan kebaikan juga. Beres-beres kamar adalah kegiatan kecil yang baik yang menghasilkan lingkungan bersih dan nyaman. Rasa nyaman mendatangkan mood yang baik. Mood yang baik mendatangkan pikiran yang jernih dan positif. Pikiran yang jernih dan positif membuat kita melihat dan menyikapi sesuatu menjadi lebih baik dan terstruktur. Pemikiran yang terstruktur membuat kita menjadi lebih produktif.

Sekarang saya menjalani hari-hari jauh lebih baik dari sebelumnya. Meskipun dihari libur atau weekend saya tetap bangun pagi seperti biasanya. Jujur saja, kebiasaan tidur dan bangun yang teratur ini sangat mempengaruhi banyak hal, termasuk memaksa saya untuk selalu produktif meskipun di hari libur atau weekend. Dulu, ketika ada libur saya selalu begadang dan bangun kesiangan serta bisa menghabiskan waktu dengan hanya scroll Tiktok dan makan. Sekarang, saya mengisinya dengan berolahraga, membaca, mencuci pakaian, menonton film-film bagus, menulis dan yang lainnya. Pada tahap ini, kita tidak perlu membandingkan produktivitas kita dengan orang lain, cukup bandingkan dengan diri kita yang sebelumnya, maka kita akan mulai mengapresiasi diri sendiri.

Oh iya, sebelum beres-beres kamar ini, semua pakaian kotor saya selalu dilaundry kecuali pakaian tertentu. Namun semenjak saya konsisten untuk beres-beres kamar, saya menjadi cukup terganggu jika melihat baju kotor menumpuk, sehingga saya putuskan untuk mencuci pakaian sendiri per 3 hari sekali. Kini saya tidak ketergantungan lagi dengan tukang laundry. Selain membuat tubuh saya bergerak lebih banyak, mencuci pakaian sendiri juga membuat saya sedikit berhemat.

Menariknya lagi, ada momen dimana saya selalu memperhatikan meja dan rak-rak buku saya apakah ada debu atau tidak. Padahal sebelumnya debunya sampai menebal karena diabaikan. Saya bahkan sengaja menaruh sebuah kemoceng didekat rak buku  untuk mempermudah saya bersih-bersih kapanpun saya mau. Saya sampai sebegitunya untuk mempertahankan kamar saya tetap bersih dan nyaman.

Saya menyadari bahwa perubahan besar tidak selalu datang dari hal-hal besar. Dia bisa datang kapan saja dengan cara apapun. Sesederhana hanya beres-beres kamar, namun dampak yang saya dapatkan sangatlah banyak. Saya menjadi punya pola bangun tidur yang teratur, pola makan yang sehat, konsisten olahraga dan membaca buku. Saya juga menjadi lebih produktif dengan lebih rajin menulis, menonton film-film bagus, mencuci pakaian sendiri dan konsisten untuk bersih-bersih. Secara mental, pikiran saya menjadi lebih positif, mood menjadi lebih stabil dan selalu berusaha melihat sesuatu dari berbagai perspektif.

Ini hanyalah sebuah perjalanan kecil untuk keluar dari lingkungan yang “kotor”. Coba lihat kamarmu! Apakah ruang kecil itu sudah seperti yang kamu harapkan? Jika belum, saatnya beres-beres untuk kehidupan yang lebih baik!

Cerpen: Makan Enak Setiap Hari


 

Johan terus menyodok-nyodok pasir yang ada dipinggiran sungai dan memasukkannya ke gerobak sorong berwarna merah yang sudah karatan itu. Bajunya basah karena cucuran keringat, kulitnya gosong ditimpa teriknya matahari. Meski demikian, remaja berusia 13 tahun itu terlihat sangat bersemangat dan seperti tidak merasa lelah sedikitpun. Dia mendorong gerobak sorong yang sudah dipenuhi pasir itu ke samping rumahnya yang berjarak kurang lebih 200-meter dari sungai. Ini adalah muatan pasir yang kesekian kalinya untuk hari ini sejak dia memulai pekerjaannya dari pukul 9 pagi tadi. Sejatinya, hari ini dan 2 minggu kedepan adalah kesempatan untuk menikmati hari dengan bersantai dan berlibur atau sekedar bermain-main dengan teman-temannya. Namun tidak dengan Johan, hari pertama libur pertengahan semester ini dia manfaatkan untuk mencari uang jajan tambahan.

Diusianya yang masih sangat muda, Johan bisa dibilang sangat berbeda dari teman-teman seangkatannya. Dia giat membantu orang tua, berperilaku sopan dan sangat mengerti keadaan keluarganya. Hari ini dia bekerja seperti tidak mengenal waktu. Dia terus mengeruk pasir di sungai, memindahkannya ke gerobak sorong dan mendorongnya sampai ke halaman samping rumah. Saat sedang asik memuat pasir, Johan sayup-sayup mendengar namanya dipanggil.

“Bang Johan, Bang Johan…” suara itu tidak asing.

“Bang Johan, Bang…” suara itu semakin dekat dan Johan menoleh ke sumber suara.

Johan tersenyum lebar mengetahui bahwa teriakan itu berasal dari Icha. Icha adalah adik Johan berusia 5 tahun yang tingkahnya sangat menggemaskan.

“Bang, kata ibu sudah waktunya makan siang, ayo makan!” Icha menarik tangan abang yang sangat dia sayangi itu.

“Seharusnya kamu ga perlu ke sini, bahaya dik!” kata Johan dengan lembut sambil menggendong adiknya keatas gerobak sorong yang setengahnya sudah terisi pasir. Johan mendorong gerobaknya dan terlihat Icha tersenyum kegirangan karena dia tidak perlu jalan kaki untuk sampai ke rumah. Sesekali Johan mempercepat dorongannya untuk menghibur adiknya. Benar saja, kali ini Icha tertawa lebar sampai-sampai bunyi tawanya itu membuat Johan ikut tertawa, ditambah poni adiknya yang sangat tipis sedang beterbangan ditiup angin, membuat Icha tampak semakin menggemaskan. Johan dan Icha adalah kakak-adik yang saling menyayangi.

Mereka tiba di rumah. Johan langsung membersihkan tangan dan kaki serta mambasuh keringatnya. Tampaknya dia sudah tidak sabar untuk santapan hari ini.

“Saatnya makan siang,” terdengar suara ibunya yang datang dari arah dapur dan membawa piring yang isinya adalah lauk. Di belakang ibunya, terlihat Icha membawakan baskom berisi sayur. Aroma kedua makanan itu sangat wangi membuat Johan sangat bersemangat untuk makan.

Di ruang tengah yang sempit dan beralaskan tikar, ketiganya terlihat makan dengan sangat lahap sampai-sampai mereka nambah nasi terus.

“Tambahin nasinya dong, Bu,” Johan mengarahkan piring ke ibunya dan ibunya segera menambahkannya.

“Aku juga mau Bu,” Icha ikut-ikutan mengulurkan piringnya. “Masakan ibu sangat enak.” lanjutnya. Ibunya hanya bisa tersenyum sembari menambahkan nasi ke piring Icha.

Mereka sangat menikmati makan siangnya sambil sesekali terlihat berbincang-bincang dan tertawa kecil. Mereka adalah tipe keluarga yang memilih berbincang-bincang saat makan daripada harus diam selama makan berlangsung. Entah kenapa, keluarga ini selalu terlihat bahagia saat makan, seperti sedang disajikan makanan ala restoran bintang 5.

***

Keesokan harinya, pukul 5 pagi Johan dan ibunya sudah beranjak dari tempat tidur untuk segera memulai aktivitas. Bangun pagi bukanlah hal yang sulit bagi Johan. Dia sudah terbiasa dengan hal itu dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk membangunkannya. Setelah meneguk segelas air putih hangat, mereka langsung ke halaman belakang rumah untuk memetik daun singkong yang sudah siap untuk dipanen. Halaman belakang rumah mereka sebenarnya tidak terlalu luas namun cukup untuk ditanami beberapa tanaman yang tidak sulit untuk dirawat. Pagi itu, ada sekitar 20 ikat daun singkong yang berhasil mereka panen. Ibu Johan akan menjual sayur tersebut ke pedagang di pasar dengan harga dua ribu per ikatnya. Sementara Ibu sedang pergi ke pasar, Johan akan lanjut beres-beres rumah.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi dan Johan sudah bersiap untuk mengambil pasir lagi di sungai. Dia terlihat sangat bertenaga setelah sarapan dengan singkong rebus dan segelas teh manis panas. Semangatnya berlipat-lipat karena sore hari nanti pasir-pasir yang sudah dikumpulkannya akan dibeli oleh pengepul.

Tak terasa, pasir-pasir yang dikumpulkan Johan sudah banyak dan menggunung. Dia menatap gunung pasir itu dengan ekspresi yang sangat bahagia. Namun, tiba-tiba Icha mendorongnya dari belakang sehingga Johan terjatuh ke gunung pasir itu. Icha tertawa terbahak-bahak melihat abangnya yang terjatuh. Johan bukannya marah, malah ikut tertawa dan membalas perbuatan adiknya. Johan mengangkat tubuh adiknya dan melemparkannya ke gunung pasir. Icha semakin bahagia. Mereka bermain perang-perangan di gunung pasir itu dengan penuh tawa. Saat sedang asik menikmati gunung pasir, tiba-tiba terdengar suara ibu mereka.

“Nak, ayo makan siang, bersihin dulu tangan sama kakinya sebelum makan!” Suara itu menghentikan permainan Johan dan Icha sekaligus menyadarkan mereka bahwa jam sudah menunjukkan pukul 12.30 siang. Tanpa berlama-lama mereka segera bergegas untuk bersih-bersih. Sudah sejak lama, makan siang dan makan malam menjadi hal yang sangat mereka sukai.

Tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, suasana makan siang kali ini pun terlihat sangat berselera. Mereka makan dengan lahap dan sesekali tertawa. Ibunya tidak berhenti bercerita dengan gerakan-gerakan kecil yang entah apa artinya. Lagi-lagi, makan siang mereka kali ini ludes termakan. Entah apa yang mereka makan sehingga terlihat sangat bahagia, padahal cuma terlihat 2 piring lauk dihadapan mereka, kadang-kadang bahkan hanya 1 piring lauk saja.

Tidak lama setelah makan siang mereka selesai, terdengar suara dari luar. Ternyata didepan rumah, Bang Yadi si pengepul pasir sudah siap untuk membeli pasir yang dikumpulkan Johan. Bang Yadi datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan karena banyak penjual pasir yang seharusnya dia temui hari ini namun tidak berada di rumah. Dua orang pasukan Bang Yadi segera menyekop pasir milik Johan dan memindahkannya ke truk pasir. Pasir yang dihasilkan Johan sekitar 2 kubik. Wajah Johan tampak berseri-seri karena dia akan segera menerima pembayaran dari Bang Yadi.

“Ini bayarannya dik,” kata Bang Yadi sembari menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah dan biru.

“Terima kasih, Bang” Johan menggenggam uangnya tanpa menghitungnya kembali karena dia tahu bahwa Bang Yadi adalah orang yang bisa dipercaya.

“Ini tambahan buat uang jajan kamu,” Bang Yadi menyodorkan satu lembar uang dua puluh ribuan sambil menepuk-nepuk pundak Johan pertanda kekagumannya pada anak remaja itu.

“Terima kasih Bang Yadi” Johan kegirangan, senyumnya sangat lebar.

Bang Yadi dan pasukannya meninggalkan rumah Johan. Tak lama dari itu, Johan langsung menyerahkan semua hasil penjualan pasirnya kepada ibunya.

“Ini Bu, Ibu simpan saja uangnya untuk ditabung” Johan menyerahkan seluruh uang yang ada digenggamannya.

“Tak usah Nak, kamu bisa simpan sendiri. Itu hasil kerja keras kamu.” Ibunya menolak.

“Gapapa Bu, Ibu simpan saja. Saya ambil dua puluh ribu ini saja buat jajan saya dan adik” Johan meraih tangan ibunya dan meletakkan uangnya ke genggaman ibunya.

Ibunya sudah tidak bisa menolak, dia menerima uang hasil penjualan pasir milik Johan. Raut wajahnya terlihat sedih dan bangga disaat yang bersamaan melihat anaknya tumbuh dengan sangat baik.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Johan sudah menyelesaikan pekerjaannya hari ini, mulai dari mengumpulkan pasir, mencabut rumput liar di lahan kecil di halaman belakang hingga beres-beres rumah. Ibu Johan yang bekerja di ladang orang juga sudah kembali ke rumah. Dia membersihkan seluruh tubuhnya dan bersiap untuk memasak santapan lezat untuk malam ini.

Sekitar pukul 7, makan malam sudah siap untuk dihabiskan. Mereka melingkar diruang tengah yang sempit. Ketiganya tampak tidak sabar untuk segera menghabiskan makanan di hadapan mereka.

“Ini adalah makanan kesukaan ibu dan saudara-saudara ibu waktu kecil” Ibunya bercerita dengan penuh ekspresi sebelum makan malam dimulai.

“Dulu ibu sampai berantem dengan Om Arifin dan Om Bona karena berebutan makanan ini. Kami sampai nambah-nambah nasi terus lho.” tambah ibunya sambil teringat akan saudara-saudaranya.

“Pokoknya ini enak sekali, sssssrrrrgggghhhh…” Ibunya menghisap air liurnya sendiri dan dengan sengaja menghasilkan suara kencang. Dia juga menutup matanya untuk menggambarkan nikmatnya makanan itu dan pura-pura mengelap mulutnya agar kedua anaknya semakin tergoda dengan hidangan malam itu.

“Bu, aku sudah lapar sekali, aku mau lauknya” Icha memotong cerita ibunya dan mengulurkan piring yang sudah berisi dengan nasi itu ke hadapan ibunya berharap ibunya segera memberinya lauk itu. Johan juga melakukan hal yang sama. Wajah kedua anak itu terlihat sudah tidak sabar.

Dengan sedikit senyuman tipis, Ibu Johan membagikan ikan asin tanpa kepala itu ke anak-anaknya. Ikan asin itu disambut sangat meriah oleh Johan dan Icha. Tidak lupa Ibu Johan juga membagikan sayur rebus hasil dari ladang kecil mereka. Untuk menambah kenikmatan, Ibu Johan juga membuat sambal. Tentu saja sambal itu sudah bercampur dengan kepala ikan asin yang diulek sampai halus. Malam itu mereka makan dengan begitu nikmat sekali.

Source: Generated by AI

Rupanya, bukan daging sapi atau daging ayam yang membuat mereka selalu bahagia setiap kali makan, bukan pula ikan tuna, lobster atau makanan mewah lainnya. Dihari-hari sebelumnya keluarga itu hanya makan sebungkus mie instan yang ditambahkan dengan seliter air dan sayuran agar cukup untuk mereka bertiga. Icha dan Johan bahkan bisa nambah nasi beberapa kali hanya dengan dua butir telur yang diorak-arik dalam air yang banyak, ditambahi dengan garam, irisan cabe dan daun bawang. Kata Ibunya, sup telur itu adalah favorit nenek mereka dan bisa bikin anak-anak menjadi pintar. Jelas ibunya sedang berbohong.

Semua makanan itu menjadi terasa sangat enak karena dibumbui oleh cerita-cerita menarik dari Ibu Johan. Ekspresi Ibu Johan saat menggambarkan makanan-makanan itu juga berhasil membuat kedua anaknya tidak sabar untuk segera mencicipinya. Bahkan ada hari dimana Ibu Johan sengaja mengarang cerita agar makanan yang dia sajikan tetap membuat anak-anaknya berselera. Makanan sederhana itu enak oleh kata-kata.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari namun Ibu Johan belum bisa tidur. Dia menatap kedua anaknya sambil mengelus-elus kepala mereka dan tak sadar dia meneteskan air mata. Perasaannya campur aduk. Dia bersyukur karena anak-anaknya tumbuh dengan baik dan tidak pernah mengeluh, namun disisi lain perasaannya dipenuhi rasa bersalah karena belum bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya bahkan membohongi anak-anaknya. Sepeninggalan suaminya, hidup mereka memang semakin sulit. Dilain sisi, Johan juga sebenarnya tidak bisa tidur. Dia bisa merasakan bahwa ibunya sedang bersedih. Selama ini, Johan sudah menyadari bahwa ibunya sengaja membumbui makanan mereka dengan cerita-cerita menarik bahkan sebagian dari cerita itu adalah cerita karangan ibunya. Johan membuat dirinya begitu tertarik dengan makanan dan cerita ibunya untuk mempengaruhi adiknya. Bagi Johan, yang terpenting adalah ibunya tidak merasa terbebani dan adiknya si Icha bisa makan dengan kenyang tanpa mengeluh.

Kopi Calf: Kopi yang Tak Berisik, Tapi Makin Dilirik!


Sebagai seseorang yang menikmati kopi, dorongan untuk terus mencoba berbagai macam kopi tentu saja selalu ada, apalagi beberapa tahun belakangan ini industri kopi di Indonesia seperti tidak ada habisnya. Saya cukup tertarik untuk melihat brand-brand kopi manakah yang akan terus bertahan sampai beberapa tahun kedepan. Setidaknya untuk saat ini, beberapa brand kopi yang sangat populer dikalangan anak muda selain starbucks adalah Kopi Fore, Kenangan, Djournal, Tomoro, Janji Jiwa, Tuku, Calf dan masih banyak lagi.

Diantara brand-brand kopi diatas, ada satu brand kopi yang cukup menarik perhatian saya. Dia adalah Calf. Sudah hampir 2 tahun belakangan ini saya suka sekali mengkonsumsi Calf walaupun varian yang saya coba hanya itu-itu saja hahaha. Kopi-kopi lain tentu saja rasanya enak tapi Calf seperti punya rasa tersendiri yang membuatnya cukup berbeda dari para pesaingnya.

Saya mencoba Calf pertama kali pada tahun 2023 atas ajakan teman kerja. Waktu itu saya mencoba Calf yang premium dan saat itu juga saya menjadi pecinta Calf. Rasanya benar-benar berbeda dari kopi-kopi lain yang saya coba. Menurut saya, yang paling membuat Calf berbeda adalah komposisi dari kopinya itu sendiri dan mouthfeel yang diberikan. Calf memberikan sensasi tersendiri saat kita mulai menyeruputnya. Teksturnya sangat creamy namun kopinya tetap terasa, bikin happy pokoknya hehehe.

Sampai dengan tulisan ini saya buat, Calf sudah memiliki 80 outlets yang tersebar dibeberapa kota. Selain itu, Calf juga menjual kopinya dengan berkeliling menggunakan gerobak. Di dunia F&B, rasa adalah faktor utama yang harus diperhatikan. Rasa yang enak membuat suatu brand tumbuh dari mulut ke mulut tanpa perlu membuat iklan yang masif. Itulah yang terjadi pada Calf. Setidaknya 1 tahun belakangan ini, penikmat Calf terus bertumbuh. Saya mengatakan demikian karena Calf sering menjadi topik yang diperbincangkan dibeberapa platform media sosial. Ternyata banyak sekali yang menyukainya, bahkan dianggap menjadi salah satu brand kopi terenak. Selain enak, Calf juga dijual dengan harga yang masih terjangkau, start dari 15ribu rupiah.

Dengan banyaknya brand kopi yang muncul saat ini, bisa dibilang Calf adalah brand yang tenang, dia tidak heboh namun mulai menjadi pilihan utama orang-orang. Calf tidak berisik tapi makin dilirik! Calf berani bersaing dengan rasa yang dia miliki.

Indonesia harus bangga punya brand lokal Calf!