I created this blog to share my opinions, stories, recommendations, etc. I hope you find it useful!

Kritik untuk Film Tukar Takdir: Arahnya Kemana?


Sabtu, 4 Oktober 2025 saya akhirnya selesai menonton sebuah film yang sedang tayang di bioskop dengan judul “Tukar Takdir”. Saya bingung harus menilai film ini seperti apa. Menurutku semuanya serba tanggung. Ada part yang sangat bagus, ada pulak part yang bahkan jika dihapus tidak akan mengubah jalan cerita. Jika saya sebagai penonton bisa memilih, sebaiknya part itu dihapuskan saja.

Photo by Dan Meyers on Unsplash

Disclaimer: Ini hanyalah ulasan pribadi yang berfokus pada jalan cerita dan tentu saja sangat subjektif dan tendensius.

Saya tidak ingin bertele-tele, jadi saya akan menjabarkan poin-poin yang menurutku membuat film ini menjadi tidak menarik: 

“Gapapa Mas, sama saja” bukan adegan yang mengharukan tapi creepy dan kocak (?)

Setelah kecelakaan pesawat yang tragis, Rawa (diperankan oleh Nicholas Saputra) sebagai satu-satunya korban yang selamat, diselimuti rasa trauma yang sangat mendalam. Pikirannya banyak dihantui momen-momen terakhir selama berada di pesawat. Salah satu momen yang kerap kali menghantui pikirannya adalah adegan saat dia sepakat bertukar seat dengan Raldy, lalu adegan saat-saat terakhir Raldy meninggal di pesawat. Percakapan mereka yang cukup membekas adalah “Gapapa mas. sama saja”. “sama saja” merujuk pada: antara bangku 38D dan 38C sama saja, jadi Rawa yang tidak sengaja duduk di 38D tidak perlu berpindah ke 38C.

Sebagai titik awal jalan cerita, mestinya adegan traumatis ini (terutama ketika Raldy sudah meninggal) dibuat penuh haru dan penyesalan bukannya malah creepy dan mengarah ke kocak. Kenapa saya bisa berpendapat demikian? Karena setiap kali adegan itu muncul, saya bisa merasakan orang-orang yang menonton dengan saya saat itu malah ketakutan lalu diakhiri dengan tertawa. Sayapun merasa demikian. Menurut saya, jika ada orang yang tertawa disituasi yang seharusnya mengerikan maka filmnya gagal menyampaikan pesannya.

Respon terhadap kecelakaan pesawat yang tragis

Didunia nyata, kecelakaan pesawat itu selalu menyisakan luka pada semua keluarga penumpang. Itulah yang tidak tergambar difilm ini. Jikapun ada, hanya sekilas saja, tidak ada emosi kehancuran dan kehilangan yang dibangun terutama di awal film. Sebagai penonton, yang saya harapkan adalah adegan dimana banyak keluarga penumpang yang menjerit histeris, adegan dimana keluarga penumpang merasa hancur dan adegan-adegan lainnya yang menunjukkan kecelakaan pesawat ini telah menancapkan kepedihan pada hidup mereka.

Tapi justru yang dimunculkan adalah: kedatangan Dita istri Raldi (diperankan oleh Marsha Timothy) dengan suasana yang penuh amarah dan dendam. Lagi-lagi saya sebagai penonton, adegan yang saya harapkan adalah sesederhana Dita shock berat, menangis dan disertai kebingungan apakah suaminya masih hidup atau tidak. Sebenarnya yang dia rasakan sah-sah saja, tapi emosinya tetap harus dibangun perlahan bukan tiba-tiba “benci banget” sama maskapainya.

Disisi lain, Ibu Rawa yang akhirnya bertemu anaknya yang selamat dari kecelakaan tragis juga tidak menunjukkan emosi apapun, yang diperlihatkan justru adegan yang tampak kaku dan penuh misteri. Mestinya, mengingat kecelakaan pesawat itu jarang ada korban selamat, Ibu Rawa seharusnya histeris ketika akhirnya bertemu dengan anaknya, buru-buru memeluknya dan penuh dengan isak tangis. Tapi Tidak. Tidak ada emosi yang dibangun. Sekalipun hubungan dengan anaknya tidak baik, tetap saja, selamat dari kecelakaan pesawat sangat pantas untuk membuat seorang ibu histeris haru.

Makanya diawal film ini saya sempat berfikir “ini arahnya kemana ya? Kok aneh sih? Kok mereka jadi kayak psikopat semua? Musiknya kok malah menegangkan bukannya sedih? Apa mereka terlibat dalam kecelakaan ini?”

Intinya adalah: Diawal film ini, respon terhadap kecelakaan pesawat yang tragis, tidak dibangun dengan baik, emosinya serba nanggung. Tidak ada adegan yang benar-benar memilukan hati. Padahal itu sangat penting, karena dari situlah jalan cerita akan berkembang. Instead of menggambarkan situasinya seolah-olah adegan psikopat yang menegangkan (beberapa part), sebaiknya situasinya bisa disampaikan dengan lebih jujur saja, apa adanya.

Scene “panas” dengan Zahra sangat tidak penting bahkan layak dihilangkan

Bagi saya pribadi, Scene “panas” dengan Zahra (diperankan oleh Adishty Zara) sungguh tidak ada faedahnya. Tidak ada makna didalamnya. Tidak ada pesan moral yang bisa diambil. Bagaimana bisa seseorang yang mestinya sedang berkalut justru mengajak Rawa berhubungan intim? Tidak ada dasar yang kuat untuk hal tersebut. Sekalipun Zahra digambarkan sebagai anak yang akhirnya kurang perhatian dari orang tuanya, anak yang dibully karena kecelakaan pesawat dianggap kesalahan ayahnya, anak yang tidak punya hubungan baik dengan pacarnya, tetap saja tidak pantas untuk mengajak Rawa berhubungan intim. Dan paling parahnya lagi, Rawa justru seperti tidak memberikan perlawanan. Dibanding mengatakan “Stop Zahra, ini salah, kita tidak boleh…” tapi Rawa justru mengatakan “bukannya saya ga suka sama kamu, tapi….”

Artinya, Rawa setuju dengan perbuatan Zahra, hanya timingnya saja kurang tepat. Sungguh aneh!

Sampai pada adegan itu saya sedikit gamblang menyimpulkan “adegan ini mah sengaja dibuat untuk narik penonton, ini mah untuk bahan marketing”

Terbukti, pada poster film yang disorot malah Zahra bukan Purwanto (diperankan oleh Ariyo Wahab) yang lebih punya peran krusial sepanjang film berlangsung.

Jalan cerita makin tidak terarah. Rawa digambarkan penuh traumatis, tapi kok malah sanggup berbuat demikian sama anak pilot yang membawa pesawatnya. Zahra digambarkan sedang berduka, tapi kok mengajak pria yang baru dikenalnya berhubungan intim? Secara psikologis, apa hal yang mendasarinya? Merasa kurang perhatian, kenapa malah ngajak berhubungan intim?

Saya sangat menyayangkan hubungan mereka digambarkan seperti itu. Akan lebih pas jika hubungan yang dibangun diantara mereka adalah hubungan kakak adik atau hubungan dengan paman dan keponakan bukan malah hubungan yang tidak sehat.

Secara kulturpun kurang tepat, sebagai orang Asia, kita belum sepenuhnya hilang dari nilai-nilai konservatif. Sikap yang diperankan Zahra terlalu progresif atau liberal-tidak cocok dengan nilai-nilai ketimuran.

Penutup

Sebenarnya premis dari film ini bagus dan sangat fresh untuk Film Indonesia tetapi cukup disayangkan banyak adegan yang tidak mensupport situasi yang sedang ditunjukkan. Emosi yang dibangun bukan naik turun tapi lebih ke tidak terarah terutama diawal-awal film.

Yang saya suka dari film ini adalah semua hal yang berhubungan dengan tragedi pesawatnya, mulai dari sinematografi, penjelasan mengenai kecelakaan pesawatnya, simulasi yang dibuat hingga adegan-adegan mengerikan selama penerbangan. Mengingat tema mengenai pesawat sangat jarang diangkat diperfilman Indonesia, setiap detail mengenai kecelakaan pesawat yang disampaikan dalam film ini sangat pantas untuk mendapatkan apresiasi.

Hal yang juga perlu diapresiasi di film ini adalah keseluruhan akting pemain yang sangat totalitas. Adegan yang paling membekas di ingatan saya adalah ketika Dita (Marsha Timothy) menangis sejadi-jadinya di mobil. Bagi saya, rasa terpukulnya benar-benar sampai ke penonton.

Pada akhirnya, ini hanyalah ulasan maupun kritik yang sangat subjektif. Beberapa hal mungkin akan kalian mengerti setelah menontonnya. Setuju ataupun tidak setuju dengan pendapat saya ini merupakan hal yang sangat normal.

0 Comments:

Posting Komentar