I created this blog to share my opinions, stories, recommendations, etc. I hope you find it useful!

Kerja di Indomaret


 #Cerpen: Kisah-kisah “sederhana” yang mungkin tidak akan dialami oleh seorang PNS

Perjalanan Aldo cukup panjang untuk sampai ke kampung halaman. Setelah menaiki pesawat, dia harus menempuh jalur darat beberapa jam lagi untuk tiba ditujuan. Minibus yang ditumpanginya melaju sangat kencang. Dia tak bisa protes soal itu. Justru aneh jika minibus andalan kampungnya itu melaju mengikuti peraturan, begitulah kebiasaannya selama ini. Supirnya tidak perlu diragukan, selalu ugal-ugalan. Syukurnya, minibus selalu sampai ke tujuan dengan selamat.

Akibat ulah sang supir, kepala Aldo sudah terbentur beberapa kali ke jendela. Untungnya, itu adalah benturan-benturan kecil yang tidak berbahaya dan rasa sakitnya masih bisa ditahan. Tapi kali ini benturannya cukup sakit sehingga Aldo harus terbangun dari tidurnya. Bak alarm tidur yang memaksanya untuk bangun, benturan itu justru menghadiahinya sebuah pemandangan yang indah. Terlihat senyum bahagia di wajah lelah Aldo, matanya berbinar penuh bahagia dan rindu. Dari balik jendela minibus rewot itu, terpampang keindahan kampung halaman yang sudah tidak dia lihat 2 tahun terakhir. Bukit-bukit yang indah, danau yang luas dan disinari oleh matahari sore membuat pemandangan itu seperti lukisan. Senyumnya semakin merekah saat menyadari bahwa tak lama lagi dia akan segera bertemu dengan keluarga besarnya. Ditambah, saat ini Aldo pulang dengan status tak lagi sebagai mahasiswa, namun sebagai seorang karyawan swasta yang sudah bisa menghidupi dirinya sendiri.

Minibus berhenti tepat di depan rumah Aldo. Terlihat orang tua, saudara dan para keponakan Aldo sudah bersiap di depan rumah untuk menyambutnya. Aldo bergegas turun dan langsung memeluk kedua orang tuanya serta seluruh orang yang ada di rumah itu. Suasana bahagia tergambar jelas ditengah keluarga Aldo. Malam itu, Aldo dan keluarganya mengabiskan waktu dengan mengobrol dan melepas rindu. Orang tua dan saudara-saudara Aldo bangga kepadanya karena akhirnya berhasil mendapat pekerjaan dan sudah bisa menghidupi diri sendiri.

***

Ini adalah hari ketiga Aldo berada di kampung halaman. Pagi ini dia ikut serta membantu orang tuanya jualan di pasar. Banyak teman-teman ibunya yang masih mengenalinya, namun banyak juga yang sudah lupa-lupa ingat. Maklumlah, sejak kuliah dan kerja, Aldo memang jarang pulang kampung. Aldo tidak menyangka bahwa keberadaannya di pasar tak hanya untuk membantu orang tua tapi justru jadi ajang silaturahmi dengan beberapa orang. Aldo menikmatinya.

Hari sudah menjelang siang dan pengunjung mulai sepi. Seorang ibu datang menghampiri Aldo dan Ibunya. Aldo tak asing dengan ibu tersebut. Benar saja, itu adalah Bu Bolo. Bu Bolo adalah sahabat ibunya yang juga sesama pedagang di pasar. Ibu Aldo kerap kali menceritakannya karena orangnya baik dan senang membantu. Pertemuan itu diwarnai dengan obrolan yang hangat dan penuh candaan. Ditengah perbincangan mereka, Ibu Aldo menarik Aldo ke belakang dan berbisik di telinganya.

“Nak, kalo kamu lagi bawa uang, kasih sedikit THR ke Bu Bolo ya. Dia orang baik, selama ini udah banyak nemenin dan bantu ibu” Wajah Ibu Aldo tampak memohon.

“Oh, baik bu!” Aldo mengangguk tanpa penolakan dan langsung meraih dompet yang ada di kantongnya. Aldo mengambil beberapa lembaran merah dan menggenggamnya cukup erat sehingga uang tersebut terlipat menjadi lembaran kecil. Aldo menghampiri Bu Bolo dan segera menyalaminya.

“Bu, ini ada sedikit rejeki dari saya. Lumayan buat nambah-nambah beli gula dan minyak goreng,” Aldo memberi dengan gembira dan disertai dengan senyum yang tulus.

“Aduh Nak, terima kasih banyak ya, semoga kamu semakin banyak rejeki.” Bu Bolo menerima pemberian Aldo dengan ekspresi bahagia bercampur kaget sambil menepuk-nepuk pundak Aldo.

“Memangnya kamu kerja dimana sekarang?” Bu Bolo bertanya dengan penasaran.

“Saya kerja di Indomaret Bu.” Aldo menjawab tanpa berpikir panjang

Seketika ekspresi Bu Bolo langsung berubah. Tampang yang tadinya bahagia, kini menunjukkan ekspresi iba. Tampang Aldo ikutan berubah, yang tadinya bahagia menjadi sedikit bertanya-tanya.

“Oh, kerja disitu, ya sudah kamu baik-baik ya kerjanya.” Respon dan ekspresi Bu Bolo saat ini sangat jelas menunjukkan rasa kasihan, tidak ada rasa bangga. Situasi menjadi sedikit canggung. Aldo dan ibunya saling bertatap walau diakhiri dengan saling tersenyum geli pertanda mereka memahami ekspresi Bu Bolo. Aldo menebak-nebak pikiran Bu Bolo “Pasti Bu Bolo mengira saya kerja sebagai kasir di Indomaret… Tapi, emangnya kenapa kalo kerja sebagai kasir di Indomaret, emang salah?” gumam Aldo dalam hati.

Pertemuan disiang hari itu berakhir. Aldo merasa konyol sekaligus menyadari bahwa orang-orang di kampungnya masih terjebak dalam cara pandang yang sempit. Bagi mereka, pekerjaan sukses hanyalah mereka yang berseragam PNS. Pemikiran ini sudah tumbuh sejak lama dan masih bertahan hingga saat ini. Beberapa teman Aldo juga mengeluhkan hal yang sama. Aldo bukannya ingin dipuji dan dianggap sukses, tapi memasang wajah kasihan saat mendengar seseorang bekerja di Indomaret adalah hal yang miris. Menjadi seorang PNS adalah pekerjaan yang mulia, tapi bekerja dengan tidak menjadi PNS tetaplah berharga.

***

Ini adalah hari keempat Aldo menikmati hidup di kampung tercintanya. Dua hari yang lalu, Aldo dan Joan mendapat ajakan dari Dea teman lama mereka untuk berkunjung ke rumahnya. Mereka bertiga lulus dari SMA yang sama. Ketiganya kuliah di Jawa namun berbeda kampus. Momen pulang kampung jadi salah satu momen yang mereka nantikan untuk saling melepas rindu. Aldo dan Joan menerima dengan hangat ajakan Dea.

Sekitar pukul 1 siang, Aldo dan Joan tiba di depan rumah mewah Dea. Tak lama menunggu, Dea langsung menyambut mereka dengan penuh semangat dan mempersilahkan untuk masuk ke rumah. Di dalam rumah, kedua orang tua Dea juga sudah bersiap menyambut Aldo dan Joan. Mereka bersalaman dan saling bertanya kabar. Lalu kedua orang tua Dea mengajak Aldo dan Joan menuju meja makan. Terlihat meja makan mewah itu penuh dengan berbagai makanan enak. Dea memang berasal dari keluarga kaya. Bapak dan Ibunya adalah PNS Eselon II.

“Ayo dimakan ya, harus makan banyak. Ibu dan Dea udah capek-capek loh masak ini semua.” Ibu Dea mengajak bersantap siang dengan sangat antusias dan sedikit bercanda.

“Iya bu, makasih banyak ya, jadi ga enak nih udah ngerepotin.” Joan membalas dengan candaan. Lalu disambut dengan tawa kecil dari semua orang di meja makan itu. Aldo dan Joan memang tidak akan bisa menolak makanan itu karena sehari sebelumnya Dea sudah menginfokan bahwa mereka harus makan siang di rumahnya. 5 orang di meja makan itu terlihat sangat menikmati santapan siang dan diwarnai dengan obrolan ringan diantara mereka.

“Joan kerja dimana sekarang?” Ayah Dea bertanya dengan wajah serius.

“Aku di Kemenkumham Om.” Joan membalas sembari menikmati ikan bakar di hadapannya.

“Wah, bagus sekali. Hebat ya kamu. Sama kayak Dea, dia juga di Kementerian tapi beda Kementerian aja. Kalo Dea di Kemenkeu.” Wajah Ayah Dea terlihat bangga kepada Joan.

“Kamu di Kemenkumham pusat?” Ayah Dea sangat tertarik dengan pekerjaan Joan

“Orang tua kamu pasti bangga. Walau tinggal di kampung tapi kamu bisa membuktikan bahwa orang kampung pun bisa menjadi PNS di Kementerian.” Lagi lagi Ayah Dea memuji Joan dan dia banyak bertanya soal pekerjaan Joan, sementara Joan hanya mengangguk-angguk tak banyak merespon, menunjukkan gelagat tidak nyaman. Saat ini Dea dan Joan memang berstatus sebagai PNS Kementerian. Mereka sangat membanggakan kerena langsung diterima dipercobaan pertama mereka melamar jadi PNS.

Kini giliran Aldo yang diinterview oleh Ayah Dea.

“Kalo Aldo, kerja dimana sekarang?” Perasaan bangga dengan Joan masih tertinggal di wajah Ayah Dea.

“Aku kerja di Indomaret Om.” Aldo selalu menjawab dengan yakin dan apa adanya.

“Oh, di Indomaret.” Balas Ayah Dea dengan singkat. Tak ada wajah bangga dan penasaran yang terlihat. Redup.

“Tahun depan kayaknya masih ada penerimaan PNS, kamu coba saja Aldo siapa tau menang, jadi kamu ga kerja di Indomaret lagi.” Ayah Dea memberi saran dengan tatapan yang tak lagi begitu tertarik dengan Aldo. Aldo hanya mengangguk-angguk meski tidak nyaman. Dia tidak ingin membuat celotehan Ayah Dea menjadi sebuah masalah. Berbeda dengan Joan yang dikulik cukup dalam oleh Ayah Dea, Aldo hanya diajak berbicara sesingkat pembicaraan diatas. Dea dan ibunya menyadari situasi itu dan terlihat merasa tak nyaman. Begitu pun dengan Joan. Dilain sisi, Aldo tak mau membuat dirinya dikasihani, jadi dia tetap asik menikmati makanan seperti tidak ada masalah. Makan siang berakhir.

Di ruang tamu, tak lama setelah makan siang mereka selesai, dari balik pintu terdengar ada orang yang memanggil. Ibu Dea segera bergegas membukakan pintu. Ternyata, tamu mereka hari ini tidak hanya Aldo dan Joan tapi beberapa kerabat Dea juga ingin bersilaturahmi.

“Silahkan masuk, silahkan” Ibu Dea mempersilahkan tamu-tamunya. Ada sekitar 4 orang.

“Wah lumayan rame disini, ternyata ada tamu lain ya selain kami. Siapa aja ini?” Salah satu ibu bertanya sambil menyalami Dea dan ayahnya.

Secepat kilat Ayah Dea langsung memberi respon.

“Ini Joan temannya Dea. Orang Kementerian nih dia. Hebat. Sekali coba PNS langsung lolos.” Ayah Dea begitu bersemangat.

“Wah hebat sekali kamu.” Tamu-tamu meperhatikan Joan dengan penuh antusias. Perhatian kini beralih pada Joan dan dilempari dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Joan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu walau terlihat jelas rasa tidak nyaman tergambar di wajahnya.

Aldo yang sedari tadi berdiri agak jauh dari mereka secara alami menunggu dirinya untuk diperkenalkan kepada para tamu. Namun karena Aldo tidak menarik bagi Ayah Dea, maka perkenalan itu pun tidak pernah terjadi. Dea dan Joan benar-benar terlihat tidak nyaman atas situasi yang dialami Aldo. Namun Aldo selalu hebat dalam mengendalikan diri. Senyuman tetap merekah di wajahnya. Dea mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak Aldo dan Joan bermain di lantai 2 dan meninggalkan tamu-tamu orang tuanya.

***

Ini adalah hari kelima Aldo di kampung halaman dalam rangka merayakan nataru. Seperti biasanya, momen-momen pulang kampung seperti ini selalu dia manfaatkan untuk bertemu dengan teman-teman lamanya. Di depan rumahnya ada John bersama motornya yang sudah menunggu Aldo. Sore ini mereka mau nongkrong di sebuah kafe dan bertemu dengan teman-teman lainnya yang juga sedang balik dari perantauan. Aldo menaiki motor dan John memboncengnya menuju kafe. Jarak kafe yang mereka tuju tidaklah terlalu jauh sehingga John hanya melaju dengan pelan. Dari kejauhan, mereka terlihat asik berbincang di motor sambil sesekali tertawa. Mereka sudah tiba di depan kafe dan John tiba-tiba mengerem mendadak karena dihentikan oleh seseorang.

“Eh, kamu Aldo kan?” suara lantang itu terdengar sangat jelas

“Iya…” Aldo menyodorkan tangannya ke orang tersebut, menatap wajahnya sambil mencoba mengingat-ingat siapa gerangan orang yang sedang menyapanya.

“Eh Firman, apa kabar?” Aldo menyalami pemuda itu dengan erat, kini dia mengetahui bahwa itu Firman, teman semasa SMPnya. Wajah Aldo berbinar atas pertemuan yang tidak terduga itu.

“Aku kabar baik, kamu kerja dimana sekarang?” Firman menanyai Aldo yang belum sempat turun dari motor.

“Aku kerja di Indomaret Fir,” lagi-lagi Aldo menjawab apa adanya.

“Kamu udah jauh-jauh kuliah di Jawa kok kerja di Indomaret.” Wajah Firman tiba-tiba sinis dan sedikit merendahkan.

Binar di wajah Aldo sedikit meredup, dia cukup kaget dengan respon yang diberikan oleh teman lamanya itu. Tapi Aldo langsung cepat-cepat mengendalikan diri.

“Ya begitulah Fir,” sekarang Aldo terlihat tersenyum geli dan John yang dari tadi hanya diam juga ikut tersenyum. Mereka menyadari bahwa itu adalah situasi yang tidak perlu direspon dengan serius walau Firman serius dengan kata-katanya.

Pembicaraan mereka tiba-tiba dibubarkan oleh beberapa motor yang juga memasuki area kafe. Firman yang melihat kedatangan motor-motor tersebut, dengan sigap meniup peluitnya dan mengarahkan motor-motor tersebut ke area parkir yang kosong. Begitu juga dengan John yang segera memarkirkan motornya. Sebelum memasuki kafe, Aldo dan John kemudian berpamitan dengan melambaikan tangannya ke Firman yang sedang sibuk menyusun kendaraan para pengunjung kafe.

Aldo menyikapi situasi-situasi yang dia hadapi dengan santai. Jika terpancing dengan situasi tersebut dan mengikuti egonya, dia bisa saja menjelaskan bahwa dia bekerja di kantor pusat Indomaret sebagai salah satu staff keuangan dan berkantor di Ibu Kota dengan gedung puluhan lantai. Tapi bukan itu yang terpenting, apalagi orang-orang yang merasa iba padanya lebih memilih untuk menjudge daripada bertanya lebih lanjut. Aldo menyadari penuh bahwa rasa kasihan yang dia terima itu muncul karena orang-orang mengganggap dia kerja sebagai kasir di Indomaret. Pertanyaan selanjutnya, memangnya kenapa kalau bekerja sebagai kasir Indomaret?

Aldo teringat kembali momen dimana dia pertama kali memberitahukan ke saudaranya bahwa ia diterima bekerja di Indomaret. Saudaranya merespon dengan sangat bijak “Bahkan sekalipun kamu bekerja sebagai kasir, kakak tetap bangga dan bersyukur apalagi ini adalah pekerjaan pertamamu, yang terpenting adalah kamu sudah bisa hidup dengan kakimu sendiri.”

Menjadi salah satu staff keuangan di perusahaan retail yang cukup besar tentu saja tidak ada apa-apanya dibanding pencapaian orang-orang hebat di luar sana. Tapi menganggap rendah orang lain atas pekerjaan yang tidak sesuai dengan standard masyarakat bukankah sebuah hal yang ironis?

Aldo mensyukuri bahwa ia terlahir ditengah keluarga yang meyakini bahwa pekerjaan yang membanggakan itu bukan hanya PNS. Semua pekerjaan yang halal dan tidak melanggar peraturan layak untuk dirayakan, termasuk menjadi kasir atau bahkan tukang parkir sekali pun.