I created this blog to share my opinions, stories, recommendations, etc. I hope you find it useful!

Cerpen: Makan Enak Setiap Hari


 

Johan terus menyodok-nyodok pasir yang ada dipinggiran sungai dan memasukkannya ke gerobak sorong berwarna merah yang sudah karatan itu. Bajunya basah karena cucuran keringat, kulitnya gosong ditimpa teriknya matahari. Meski demikian, remaja berusia 13 tahun itu terlihat sangat bersemangat dan seperti tidak merasa lelah sedikitpun. Dia mendorong gerobak sorong yang sudah dipenuhi pasir itu ke samping rumahnya yang berjarak kurang lebih 200-meter dari sungai. Ini adalah muatan pasir yang kesekian kalinya untuk hari ini sejak dia memulai pekerjaannya dari pukul 9 pagi tadi. Sejatinya, hari ini dan 2 minggu kedepan adalah kesempatan untuk menikmati hari dengan bersantai dan berlibur atau sekedar bermain-main dengan teman-temannya. Namun tidak dengan Johan, hari pertama libur pertengahan semester ini dia manfaatkan untuk mencari uang jajan tambahan.

Diusianya yang masih sangat muda, Johan bisa dibilang sangat berbeda dari teman-teman seangkatannya. Dia giat membantu orang tua, berperilaku sopan dan sangat mengerti keadaan keluarganya. Hari ini dia bekerja seperti tidak mengenal waktu. Dia terus mengeruk pasir di sungai, memindahkannya ke gerobak sorong dan mendorongnya sampai ke halaman samping rumah. Saat sedang asik memuat pasir, Johan sayup-sayup mendengar namanya dipanggil.

“Bang Johan, Bang Johan…” suara itu tidak asing.

“Bang Johan, Bang…” suara itu semakin dekat dan Johan menoleh ke sumber suara.

Johan tersenyum lebar mengetahui bahwa teriakan itu berasal dari Icha. Icha adalah adik Johan berusia 5 tahun yang tingkahnya sangat menggemaskan.

“Bang, kata ibu sudah waktunya makan siang, ayo makan!” Icha menarik tangan abang yang sangat dia sayangi itu.

“Seharusnya kamu ga perlu ke sini, bahaya dik!” kata Johan dengan lembut sambil menggendong adiknya keatas gerobak sorong yang setengahnya sudah terisi pasir. Johan mendorong gerobaknya dan terlihat Icha tersenyum kegirangan karena dia tidak perlu jalan kaki untuk sampai ke rumah. Sesekali Johan mempercepat dorongannya untuk menghibur adiknya. Benar saja, kali ini Icha tertawa lebar sampai-sampai bunyi tawanya itu membuat Johan ikut tertawa, ditambah poni adiknya yang sangat tipis sedang beterbangan ditiup angin, membuat Icha tampak semakin menggemaskan. Johan dan Icha adalah kakak-adik yang saling menyayangi.

Mereka tiba di rumah. Johan langsung membersihkan tangan dan kaki serta mambasuh keringatnya. Tampaknya dia sudah tidak sabar untuk santapan hari ini.

“Saatnya makan siang,” terdengar suara ibunya yang datang dari arah dapur dan membawa piring yang isinya adalah lauk. Di belakang ibunya, terlihat Icha membawakan baskom berisi sayur. Aroma kedua makanan itu sangat wangi membuat Johan sangat bersemangat untuk makan.

Di ruang tengah yang sempit dan beralaskan tikar, ketiganya terlihat makan dengan sangat lahap sampai-sampai mereka nambah nasi terus.

“Tambahin nasinya dong, Bu,” Johan mengarahkan piring ke ibunya dan ibunya segera menambahkannya.

“Aku juga mau Bu,” Icha ikut-ikutan mengulurkan piringnya. “Masakan ibu sangat enak.” lanjutnya. Ibunya hanya bisa tersenyum sembari menambahkan nasi ke piring Icha.

Mereka sangat menikmati makan siangnya sambil sesekali terlihat berbincang-bincang dan tertawa kecil. Mereka adalah tipe keluarga yang memilih berbincang-bincang saat makan daripada harus diam selama makan berlangsung. Entah kenapa, keluarga ini selalu terlihat bahagia saat makan, seperti sedang disajikan makanan ala restoran bintang 5.

***

Keesokan harinya, pukul 5 pagi Johan dan ibunya sudah beranjak dari tempat tidur untuk segera memulai aktivitas. Bangun pagi bukanlah hal yang sulit bagi Johan. Dia sudah terbiasa dengan hal itu dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk membangunkannya. Setelah meneguk segelas air putih hangat, mereka langsung ke halaman belakang rumah untuk memetik daun singkong yang sudah siap untuk dipanen. Halaman belakang rumah mereka sebenarnya tidak terlalu luas namun cukup untuk ditanami beberapa tanaman yang tidak sulit untuk dirawat. Pagi itu, ada sekitar 20 ikat daun singkong yang berhasil mereka panen. Ibu Johan akan menjual sayur tersebut ke pedagang di pasar dengan harga dua ribu per ikatnya. Sementara Ibu sedang pergi ke pasar, Johan akan lanjut beres-beres rumah.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi dan Johan sudah bersiap untuk mengambil pasir lagi di sungai. Dia terlihat sangat bertenaga setelah sarapan dengan singkong rebus dan segelas teh manis panas. Semangatnya berlipat-lipat karena sore hari nanti pasir-pasir yang sudah dikumpulkannya akan dibeli oleh pengepul.

Tak terasa, pasir-pasir yang dikumpulkan Johan sudah banyak dan menggunung. Dia menatap gunung pasir itu dengan ekspresi yang sangat bahagia. Namun, tiba-tiba Icha mendorongnya dari belakang sehingga Johan terjatuh ke gunung pasir itu. Icha tertawa terbahak-bahak melihat abangnya yang terjatuh. Johan bukannya marah, malah ikut tertawa dan membalas perbuatan adiknya. Johan mengangkat tubuh adiknya dan melemparkannya ke gunung pasir. Icha semakin bahagia. Mereka bermain perang-perangan di gunung pasir itu dengan penuh tawa. Saat sedang asik menikmati gunung pasir, tiba-tiba terdengar suara ibu mereka.

“Nak, ayo makan siang, bersihin dulu tangan sama kakinya sebelum makan!” Suara itu menghentikan permainan Johan dan Icha sekaligus menyadarkan mereka bahwa jam sudah menunjukkan pukul 12.30 siang. Tanpa berlama-lama mereka segera bergegas untuk bersih-bersih. Sudah sejak lama, makan siang dan makan malam menjadi hal yang sangat mereka sukai.

Tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, suasana makan siang kali ini pun terlihat sangat berselera. Mereka makan dengan lahap dan sesekali tertawa. Ibunya tidak berhenti bercerita dengan gerakan-gerakan kecil yang entah apa artinya. Lagi-lagi, makan siang mereka kali ini ludes termakan. Entah apa yang mereka makan sehingga terlihat sangat bahagia, padahal cuma terlihat 2 piring lauk dihadapan mereka, kadang-kadang bahkan hanya 1 piring lauk saja.

Tidak lama setelah makan siang mereka selesai, terdengar suara dari luar. Ternyata didepan rumah, Bang Yadi si pengepul pasir sudah siap untuk membeli pasir yang dikumpulkan Johan. Bang Yadi datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan karena banyak penjual pasir yang seharusnya dia temui hari ini namun tidak berada di rumah. Dua orang pasukan Bang Yadi segera menyekop pasir milik Johan dan memindahkannya ke truk pasir. Pasir yang dihasilkan Johan sekitar 2 kubik. Wajah Johan tampak berseri-seri karena dia akan segera menerima pembayaran dari Bang Yadi.

“Ini bayarannya dik,” kata Bang Yadi sembari menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah dan biru.

“Terima kasih, Bang” Johan menggenggam uangnya tanpa menghitungnya kembali karena dia tahu bahwa Bang Yadi adalah orang yang bisa dipercaya.

“Ini tambahan buat uang jajan kamu,” Bang Yadi menyodorkan satu lembar uang dua puluh ribuan sambil menepuk-nepuk pundak Johan pertanda kekagumannya pada anak remaja itu.

“Terima kasih Bang Yadi” Johan kegirangan, senyumnya sangat lebar.

Bang Yadi dan pasukannya meninggalkan rumah Johan. Tak lama dari itu, Johan langsung menyerahkan semua hasil penjualan pasirnya kepada ibunya.

“Ini Bu, Ibu simpan saja uangnya untuk ditabung” Johan menyerahkan seluruh uang yang ada digenggamannya.

“Tak usah Nak, kamu bisa simpan sendiri. Itu hasil kerja keras kamu.” Ibunya menolak.

“Gapapa Bu, Ibu simpan saja. Saya ambil dua puluh ribu ini saja buat jajan saya dan adik” Johan meraih tangan ibunya dan meletakkan uangnya ke genggaman ibunya.

Ibunya sudah tidak bisa menolak, dia menerima uang hasil penjualan pasir milik Johan. Raut wajahnya terlihat sedih dan bangga disaat yang bersamaan melihat anaknya tumbuh dengan sangat baik.

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Johan sudah menyelesaikan pekerjaannya hari ini, mulai dari mengumpulkan pasir, mencabut rumput liar di lahan kecil di halaman belakang hingga beres-beres rumah. Ibu Johan yang bekerja di ladang orang juga sudah kembali ke rumah. Dia membersihkan seluruh tubuhnya dan bersiap untuk memasak santapan lezat untuk malam ini.

Sekitar pukul 7, makan malam sudah siap untuk dihabiskan. Mereka melingkar diruang tengah yang sempit. Ketiganya tampak tidak sabar untuk segera menghabiskan makanan di hadapan mereka.

“Ini adalah makanan kesukaan ibu dan saudara-saudara ibu waktu kecil” Ibunya bercerita dengan penuh ekspresi sebelum makan malam dimulai.

“Dulu ibu sampai berantem dengan Om Arifin dan Om Bona karena berebutan makanan ini. Kami sampai nambah-nambah nasi terus lho.” tambah ibunya sambil teringat akan saudara-saudaranya.

“Pokoknya ini enak sekali, sssssrrrrgggghhhh…” Ibunya menghisap air liurnya sendiri dan dengan sengaja menghasilkan suara kencang. Dia juga menutup matanya untuk menggambarkan nikmatnya makanan itu dan pura-pura mengelap mulutnya agar kedua anaknya semakin tergoda dengan hidangan malam itu.

“Bu, aku sudah lapar sekali, aku mau lauknya” Icha memotong cerita ibunya dan mengulurkan piring yang sudah berisi dengan nasi itu ke hadapan ibunya berharap ibunya segera memberinya lauk itu. Johan juga melakukan hal yang sama. Wajah kedua anak itu terlihat sudah tidak sabar.

Dengan sedikit senyuman tipis, Ibu Johan membagikan ikan asin tanpa kepala itu ke anak-anaknya. Ikan asin itu disambut sangat meriah oleh Johan dan Icha. Tidak lupa Ibu Johan juga membagikan sayur rebus hasil dari ladang kecil mereka. Untuk menambah kenikmatan, Ibu Johan juga membuat sambal. Tentu saja sambal itu sudah bercampur dengan kepala ikan asin yang diulek sampai halus. Malam itu mereka makan dengan begitu nikmat sekali.

Source: Generated by AI

Rupanya, bukan daging sapi atau daging ayam yang membuat mereka selalu bahagia setiap kali makan, bukan pula ikan tuna, lobster atau makanan mewah lainnya. Dihari-hari sebelumnya keluarga itu hanya makan sebungkus mie instan yang ditambahkan dengan seliter air dan sayuran agar cukup untuk mereka bertiga. Icha dan Johan bahkan bisa nambah nasi beberapa kali hanya dengan dua butir telur yang diorak-arik dalam air yang banyak, ditambahi dengan garam, irisan cabe dan daun bawang. Kata Ibunya, sup telur itu adalah favorit nenek mereka dan bisa bikin anak-anak menjadi pintar. Jelas ibunya sedang berbohong.

Semua makanan itu menjadi terasa sangat enak karena dibumbui oleh cerita-cerita menarik dari Ibu Johan. Ekspresi Ibu Johan saat menggambarkan makanan-makanan itu juga berhasil membuat kedua anaknya tidak sabar untuk segera mencicipinya. Bahkan ada hari dimana Ibu Johan sengaja mengarang cerita agar makanan yang dia sajikan tetap membuat anak-anaknya berselera. Makanan sederhana itu enak oleh kata-kata.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari namun Ibu Johan belum bisa tidur. Dia menatap kedua anaknya sambil mengelus-elus kepala mereka dan tak sadar dia meneteskan air mata. Perasaannya campur aduk. Dia bersyukur karena anak-anaknya tumbuh dengan baik dan tidak pernah mengeluh, namun disisi lain perasaannya dipenuhi rasa bersalah karena belum bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya bahkan membohongi anak-anaknya. Sepeninggalan suaminya, hidup mereka memang semakin sulit. Dilain sisi, Johan juga sebenarnya tidak bisa tidur. Dia bisa merasakan bahwa ibunya sedang bersedih. Selama ini, Johan sudah menyadari bahwa ibunya sengaja membumbui makanan mereka dengan cerita-cerita menarik bahkan sebagian dari cerita itu adalah cerita karangan ibunya. Johan membuat dirinya begitu tertarik dengan makanan dan cerita ibunya untuk mempengaruhi adiknya. Bagi Johan, yang terpenting adalah ibunya tidak merasa terbebani dan adiknya si Icha bisa makan dengan kenyang tanpa mengeluh.